Kamis, 13 Januari 2011

Roma Locuta, Causa Finita

Catatan atas Kekisruhan DPRD-Pemerintah Kota Kupang
Oleh Alex Ofong, Aktivis, Warga Liliba, Kota Kupang
Pos Kupang,Rabu, 12 Januari 2011 | 23:05 WIB

PENGUJUNG tahun 2010, kita dikejutkan dengan berita yang dilansir media massa tentang kekisruhan antara DPRD dan Pemerintah Kota Kupang. Kekisruhan itu masih berlangsung, memasuki tahun 2011, sampai sekarang. Entah sampai kapan berakhirnya, masih dalam tanda tanya besar(?)! Banyak pihak memprediksi, kekisruhan ini bakal berlarut pasca pemkot memboikot sidang APBD 2011 dan tetap bergeming menggunakan APBD 2010 untuk APBD 2011 melalui Peraturan Walikota. Kalau ini terjadi, maka patut disesalkan! Rakyat Kota Kupang harus marah! Bahkan dibolehkan marah!

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memprovokasi agar rakyat harus marah, tetapi berusaha memposisikan persoalan kekisruhan ini pada wacana politik untuk didiskusikan, mungkin ada sumbang pikiran setelah ini untuk mencari pemecahan agar rakyat tidak harus marah!

Kita mulai dari melihat ulang fakta yang terjadi berdasarkan hasil investigasi sederhana saya melalui diskusi lepas dengan beberapa pejabat di pemkot, teman-teman di DPRD, pegawai sekretariat DPRD, dan melalui penelusuran beberapa dokumen terkait.
                    ***
Sidang III DPRD Kota Kupang Tahun 2010, yang salah satu agendanya membahas RAPBD 2011, sejak awal sudah ada tanda-tanda disharmoni  antara DPRD dan Pemerintah Kota Kupang. Badan Musyarawah (Banmus) DPRD Kota Kupang 'dipaksa' 3 sampai 4 kali menggelar rapat perubahan agenda dan jadwal sidang, karena berjalan seret dan molor dari jadwal yang sudah diagendakan sebelumnya. Pemkot Kupang yang tidak siap dengan data-data yang memuaskan anggota DPRD di satu sisi, memang patut disesalkan! Tetapi DPRD yang lekas menghentikan sidang, di sisi lain, dan membiarkan waktu berlalu sambil menunggu pemerintah melengkapi data, padahal ini adalah ruang pembahasan bersama, juga patut disayangkan!

Situasi disharmoni menajam mencapai kisruh ketika memasuki tahapan pembahasan dalam Badan Anggaran, yang menurut perubahan terakhir jadwal sidang (SK DPRD No. 58/DPRD/KK/2010), dimulai tanggal 17 Desember 2010. Sebagaimana lazim, pembahasan dalam Badan Anggaran, dimulai dengan membahas pendapatan,  termasuk tentang PAD.  Oleh DPRD target PAD tahun 2011 didongkrak naik 39,57 % dari Rp 41,6 miliar menjadi Rp 58,08 miliar. Kenaikan ini dinilai pemkot tidak realistis dan bakal memberatkan rakyat; apalagi dinaikkan sepihak hanya oleh 'ketukan palu Ketua Badan Anggaran DPRD Kota Kupang tanpa alasan  memadai'. 

Pada pembahasan tentang belanja (pada hari ketiga Sidang Badan Anggaran DPRD, 20 Desember 2010), banyak item,  terutama bagian sekretariat daerah, termasuk pos kepala daerah,  dipangkas oleh Ketua Badan Anggaran hanya dengan ketukan palu tanpa memberikan kesempatan kepada pemkot untuk menjelaskan. Hak suara anggota Badan Anggaran DPRD pun dipangkas. Anggota Badan Anggaran tidak diperkenankan bersuara, kendati ada yang hendak bersuara.

Kondisi ini memicu pemkot  memboikot sidang melalui surat tertanggal 21 Desember 2010 Nomor: Keu.910/144/2010 perihal Penolakan Pembahasan APBD Tahun Anggaran 2011. Sidang dinilai berlangsung sangat tidak etis, tidak demokratis, tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang diamanatkan sejumlah peraturan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah dan tata cara pembahasannya; bahkan Tata Tertib DPRD pun ditabrak!

Pasca peristiwa ini, komunikasi  'DPRD - Pemkot' hanya melalui surat. Lebih tepat, saling balas membalas surat. Tercatat: ada tiga kali surat undangan yang dikeluarkan Ketua DPRD Kota Kupang kepada pemkot untuk melanjutkan sidang pembahasan anggaran (Nomor: DPRD.170/648/KK/2010;
DPRD.170/650/KK/2010; DPRD.170/663/KK/2010). Tiga kali juga surat pemkot perihal pemberitahuan menanggapi surat Ketua DPRD, yang pada surat ketiga dengan Nomor: Keu.910/147/2010, 27 Desember 2010, pemkot memberitahukan kepada DPRD bahwa 'berdasarkan  kewenangan sesuai Permendagri Nomor 37/2010 Walikota akan menetapkan APBD Kota Kupang Tahun Anggaran 2011 dengan Peraturan Walikota'. Dengan sisa waktu yang sangat terbatas, pemkot memastikan sidang bakal molor melewati batas waktu sesuai ketentuan yang berlaku, dan dikhawatirkan berdampak negatif berupa penilaian tata kelola keuangan daerah dan pemotongan DAU sebesar 25 % sesuai amanat Ban II, pasal 7, 8, 9 Permenkeu Nomor: 46/PMK.02/2006. Apabila ini terjadi, maka akan sangat merugikan kepentingan rakyat dan daerah Kota Kupang.

Pemerintah Kota Kupang, sampai dengan saat ini, tetap  bergeming menggunakan Peraturan Walikota sebagai payung hukum APBD 2011 dengan merujuk pada APBD 2010, kendati ada imbauan dari Pemerintah Provinsi NTT untuk melanjutkan kembali pembahasan dengan DPRD Kota Kupang. Sementara sikap DPRD sendiri tampak gamang, paling tidak tergambar dari surat-surat yang dikeluarkan baik atas nama fraksi (Demokrat, PDIP, Gerindra), atas nama Partai (PAN, PPP, Patriot), maupun atas nama anggota DPRD (A Botha Hayon). Di satu sisi, ada sikap yang hampir seragam membenarkan fakta ketidaketisan, ketidakdemokratisan, ketidaksesuaian prosedur dan mekanisme pembahasan yang ditunjukkan Ketua Badan Anggaran DPRD; namun di sisi lain mengharapkan kelanjutan sidang pembahasan anggaran sesuai dengan prosedur dan mekanisme; bahkan ada yang menyetujui sikap pemkot menggunakan anggaran 2010.
                    ***
Fakta yang terpapar di atas, bila dicermati saksama, mengingatkan kita pada dan serentak menghidupkan kembali semboyan 'Roma Locuta, Causa Finita' (Roma Bicara, Habis Perkara) yang didengungkan para Kaiser Roma terhadap koloni-koloninya. Semboyan ini memang kemudian dijadikan peribahasa sebagai sebuah kritik pada saat Gereja Katolik sangat sentralistis  (segala perkara hanya diselesaikan oleh 'apa kata Paus di Roma'); namun dalam perkembangan digunakan untuk melukiskan arogansi kekuasaan yang hanya mau didengarkan dan tidak mau mendengarkan! Karena itu, tepat juga untuk melukiskan 'kekisruhan' DPRD dan Pemerintah Kota Kupang ini, saat ini. Kisruh Pemkot-DPRD, hemat saya,  justru berakar di sini!

Sikap Ketua Badan Anggaran yang tidak memberikan kepada pemkot kesempatan untuk menjelaskan posisi mereka terkait dengan alokasi anggaran yang diajukan seakan menghadirkan kembali sosok kaiser-kaiser Roma yang cuma bersabda, maka habislah perkara. Tidak ada lagi ruang untuk dialog. Yang terjadi hanya monolog.

Sikap ini memang patut disesalkan! Namun, sayangnya, kekecewaan atas monolog (ketiadaan dialog) ditunjukkan dengan sikap serupa. Ketiadaan dialog dilawan dengan tanpa dialog. Ruang dialog dikunci juga oleh pemkot. Ketegaran sikap tanpa membuka ruang dialog pun seolah mengiangkan kembali 'Roma Locuta, Causa Finita'. Pratanda matinya dialog.

Padahal dalam kehidupan politik, dialog niscaya merupakan persyaratan minimum untuk suatu politik yang demokratis.  Dialog dibutuhkan untuk mengarahkan kita mendekati 'kebenaran'. Menyitir Karl Poper, filosof Inggris yang banyak dikenal di Indonesia, kebenaran adalah produk sosial, bukan produk perorangan, karena membutuhkan pengujian, dan pengujian hanya dimungkinkan dalam dialog dengan orang lain. Dalam dialog, sebuah pendapat diuji melalui falsifikasi radikal sebagai pendapat yang layak dipertahankan atau dibuang - karena jauh dari kebenaran. Pengujian dalam dialog ini penting, mengingat setiap manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk membenarkan pendapatnya sendiri.

Ruang dialog - yang ditutup oleh Ketua Badan Anggaran ketika memimpin sidang Badan Anggaran dan tetap bergemingnya pemkot -  menunjukkan fakta kegagalan demokrasi. Karena praktik demokrasi jelas menuntut adanya dialog;  menuntut adanya situasi yang mengharuskan et altera pars audiatur  (pihak lain patut didengarkan pendapatnya)!

Gagalnya demokasi akibat kecenderungan menggunakan monolog yang serentak mematikan dialog adalah bahaya besar dalam praksis politik pengelolaan kekuasaan, karena rakyat sebagai subyek demokrasi bakal menerima dampak buruknya, yaitu lilitan kemiskinan.

Terlalu jauh memang untuk menarik benang merah fakta ini sampai menyentuh kemiskinan yang melilit rakyat Kota Kupang. Tetapi sebagai sebuah wacana politik di alam demokrasi, ini penting untuk dikemukakan. Karena, pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi, Amartya Sen, mensinyalir bahwa kemiskinan adalah akibat dari the failure of democracy (kegagalan demokrasi)!

Matinya dialog antara DPRD-Pemerintah Kota Kupang serta terkuncinya ruang dialog dengan rakyat Kota Kupang, yang sedang terjadi sekarang ini, adalah sebuah fakta politik yang harus disadari dan diambil sikap antisipatoris. Apalagi ini terkait dengan APBD! Klaim 'pro rakyat' yang menjadi alasan DPRD mendongkrak PAD dan memangkas usulan belanja pemkot, perlu diuji melalui dialog. Pun pula, demi 'kepentingan rakyat' sebagai alasan pemkot memboikot sidang dan bergeming menggunakan APBD 2010, pun harus diuji melalui dialog. Siapa dapat menjamin 'klaim pro rakyat' dan 'argumentasi demi kepentingan rakyat' itu benar, tanpa dialog sebagai basis akuntabilitas public - yang mengandaikan dua hal sekaligus: transparansi dan kesediaan untuk diuji publik?

Mesti ada sikap bijak menyelesaikan 'kekisruhan' ini. Biarlah 'Roma Locuta, Causa Finita' tewas ditebas pedang dewa kronos. Hidupkan kembali dialog DPRD- Pemkot; bukalah ruang dialog dengan rakyat Kota Kupang, demi praksis demokrasi dan kesejatian politik sebagai ikhtiar mensejahterakan rakyat Kota Kupang. Pasti bisa!*

0 komentar:

Posting Komentar

"Silahkan Tulis Yang Ada dalam Kepala Anda"