Selasa, 23 Agustus 2011

Join+us+on+August+23,+2011+for+Ashoka+Changemakers'+Asia+#SocEntChat+on+Citizen+Media!

Join+us+on+August+23,+2011+for+Ashoka+Changemakers'+Asia+#SocEntChat+on+Citizen+Media!

Minggu, 21 Agustus 2011

Komunitas Geng Motor iMuT Latih Biogas di Kuanheun

POS-KUPANG.COM, KUPANG --- Komunitas geng motor iMuT (Aliansi Masyarakat Peduli Ternak) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melatih warga Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang membuat biogas atau bahan bakar alternatif dari limbah ternak.
Upaya ini ditempuh untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap minyak tanah dan kayu bakar.
Hal ini disampaikan koordinator umum geng motor iMuT, Noverius Nggili, kepada Pos-Kupang.Com, Sabtu (20/8/2011).
Menurut Noverius Nggili, pada tahap awal mereka melakukan sosialisasi dengan program 'sekolah jalanan'. Beberapa materi sosialisasi yaitu  pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas, menjadi dukun ternak, obat tradisional untuk ternak, praktek pembuatan briket arang untuk kompof biomassa, bokashi semak bunga putih dan blok suplemen pakan gula lontar," kata Noverius Nggili.
Menurutnya, mereka kebetulan sempat belajar di sekolah dan kampus formal. "Tetapi kami juga masih harus lebih banyak belajar dari orang lain terutama masyarakat petani-peternak sebagai pelaku utama pembangunan yang memiliki ilmu dasar," kata Noverius Nggili.
Dijelaskan, konsep 'sekolah jalanan' adalah 'berbagi ilmu sebelum ajal menjemput, karena percuma juga jika memiliki banyak ilmu namun  tidak sempat berbagi dengan orang lain, terutama yang membutuhkan.
"Banyak orang senang kalau punya gelar magister, doktor bahkan profesor kata lainnya 'ilmuwan' tetapi ilmunya tidak dapat diaplikasikan oleh masyarakat, berarti ilmuwan itu telah gagal. Lebih gagal lagi kalau tidak sempat ia bagikan ke masyarakat luas tentang buah pikirannya itu dan hanya ajal yang menerima ilmunya," ujar Noverius Nggili.
Editor : Novemy Leo »» Penulis : Oby Lewanmeru »» Sumber : Pos-Kupang.Com

Rabu, 17 Agustus 2011

Reformasi di Titik Nadir dan Revolusi


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Reformasi yang pernah lantang diteriakan belasan tahun silam ada di titik nadir. Ini ditandai dengan kasus korupsi hanya menjadi barang eksploitasi media, dan ajang intrik para politikus, tanpa mampu menemukan titik keadilan untuk menyatakan ini benar atau salah.

Gurita korupsi
Tidak bermaksud membantah sequel tulisan George Junus Aditjondro  (GJA) tentang Gurita Cikeas, tetapi korupsi yang dimaksud memang tidak lagi memusat pada Rezim Cikeas, tetapi menyebar merata, tanpa mampu dibendung dan diapa-apakan. Bahkan bagi banyak orang  sudah dianggap biasa. Sehingga para pejabat publik sudah berani berbicara ‘Korupsi boleh, asal jangan banyak-banyak’.   

Secara umum gambaran pelaku korupsi secara sistematis tidak lagi ada dalam posisi piramida terbalik, dengan bagan pembagian kekuasaan vertikal, tetapi berbagai organisasi kejahatan posisinya ada dalam pola sejajar horizontal, di mana semua anggota memiliki otoritas terbatas tetapi memiliki code of conduct yang sama, yakni tidak saling melaporkan atau menjaga informasi kriminal (baca: nama baik di depan publik).  

Sehingga organisasi kejahatan model ini memang tidak lagi ada dalam kerangka analisis aktor, tetapi merupakan sistem kriminal yang memang membajak otoritas negara secara berkelompok. Sistem kriminal ini tidak lagi mengenal kepala rezim sebagai gembong utama, tetapi sudah menyebar merata dalam pola konfederasi kelompok, dengan otoritas terbatas, tidak saling melangkahi.

Sederhananya dalam sejarah mafia, model mafia yang sedang berlaku di Indonesia bukan ada dalam skema Mafia Sicilia Cosa Nosta yang hirarkis dan lebih menekankan pola kontrol vertikal, tetapi merupakan model Mafia Cammora yang beroperasi di Napoli. Masyarakat di sana tidak menyebutnya orang tertentu di belakang layar, tapi menyebutnya sebagai  Il sistema.  Sederhananya, dalam pola penegakan hukum memotong salah satu kepala bagian, hanya menghidupkan sekian kaki yang akan menjadi sekian kepala.

Berhadapan dengan model pergerakan organisasi kriminal macam ini institusi kenegaraan kita sudah tidak mampu, karena sekian organisasi kriminal yang ada (legal maupun ilegal) sudah menguasai institusi ini, atau ada dalam hegemoni kelompok mafia ini. 

Tayangan di media elektronik soal bandit yang melarikan diri, dan melaporkan soal jaringan bandit lainnya, kini menjadi tayangan eksklusif, tanpa satu insitusi kenegaraan mampu berbuat apa-apa. Ini bukti nyata bahwa seluruh institusi kenegaraan kita sudah invalid, baik yang sifatnya menjaga otoritas publik semacam kepolisian, maupun yang bergerak di bawah tanah semacam lembaga inteljen telah ada di bawah tawanan organisasi kriminal.

Revolusi
Di tahun 1998, orang masih gembira menyebut reformasi untuk mudurnya kepala rezim yang sudah usur. Sedangkan perjuangan untuk demokratisasi sendiri hanya merupakan fatamorgana. Demokrasi hanya untuk para oligark yang berduit, dan para aktivis yang korup dimakan il sistema.

Isu menjelang Pemilu 2014 bukan lagi soal bagaimana agar negara tidak hancur, tetapi hanya soal mekanisme pembagian kekuasaan diantara para taipan politik.  Partai-partai kecil disortir layaknya komoditas pertanian yang tak layak masuk super market.  Jadi para politikus senayan lebih berpikir soal efektivitas berkegiatan di Senayan, daripada bertanya apakah sistem politik yang sedang dirancang realistis untuk Indonesia. Kegagalan reformasi yang hanya meletakaan kejahatan sebagai tontonan, tidak dilihat sumbu persoalan, tetapi malah hanya berpikir bagaimana kue kekuasaan dibagi diantara bandar-bandar besar.

Bagi kepala pemerintahan saat ini perkara korupsi mungkin hanya soal nama baik partai, sehingga kongres sebaga ajang konsolidasi kelompok dirasa sudah cukup untuk menyelesaikan persoalan internal organ.

Sebaliknya, bagi kita rakyat Indonesia, kondisi saat ini merupakan tanda-tanda kehancuran. Ketika seluruh insititusi kenegaraan tidak lagi berfungsi, dan dikuasai organisasi kriminal, maka cita-cita kenegaraan Indonesia semakin pupus.
Berhadapan dengan sistem kriminal, tidak mungkin kita berbicara soal pergantian aktor atau hal yang remeh temeh semancam parliamentary treshold, tidak ada garansi bahwa dengan semakin sedikit bandar (baca: partai), angka kriminalitas semakin berkurang alias efektivitas kerja semakin baik. Apa ukurannya? Ketika suara rakyat semakin tidak terdengar dalam pola permainan para bandar besar (baca: oligark), apa masih penting bicara soal sekian persen suara dan sistem representasi yang tidak memiliki daya apa-apa?  

Seharusnya menjelang 2014 ini kita tidak lagi berbicara soal siapa naik kereta apa (baca: partai apa), tetapi bertanya apakah sistem yang ada sekarang tidak membuat siapa pun yang masuk akan menjadi kriminal baru? Jika sistem yang ada hanya menciptakan kriminal baru, kenapa masih dipertahankan? Bahkan dibikin semakin selektif dan hanya mampu diakses oleh para oligark? Atau pun siapa pun yang mencoba masuk akan berubah menjadi kriminal karena harus mencuri untuk membiayai partai?

Jika seluruh komponen legal telah berubah menjadi kriminal, atau pun aparatusnya ada dalam hegemoni organisasi hitam, maka kita sebagai rakyat berhak memutuskan apakah kita masih mau menjadi tawanan dalam organisasi kejahatan itu atau tidak.  Sistem politik yang dikuasai para bandar bukan demokrasi yang kita cita-citakan. Sistem politik yang tidak merakyat jauh dari cita-cita kemerdekaan.

Jika dulu kita butuh sekian abad untuk menyadari bahwa kita sedang dijajah, kini dengan semakin cepatnya arus informasi, dan ketersambungan antara warga, proses pemahaman terhadap kondisi penjajahan oleh organisasi kriminal pun semakin cepat.

Dengan sistem macam ini, Pemilu 2014 mungkin menarik untuk para bandar, tetapi tidak untuk rakyat. Negara jelas tidak sama dengan mafia. Dalam tawanan mafia para korban hanya bisa menonton, di dalam negara rakyat adalah warga yang berdaya. Pemberontakan rakyat yang ditawan dalam sistem kriminal mungkin disebut revolusi.

* warga negara Indonesia masih belajar di Birmingham

Proses rencana sampai pelaksaaan harus terkontrol

LLBK, KURSOR
    Proses perencanaan sampai pelaksaan kegiatan harusnya terkontrol dengan baik. Dan kalau sampai saat ini masih ada kasus gizi buruk berarti persolannya ada pada orang yang mengelola dana tersebut, mulai dari petugas pengelola di desa/kelurahan sampai pada kepala daerahnya.
    “Saya sepakat dengan pernyataan ini, karena alokasi anggaran yang diperuntukan untuk hal ini harusnya sudah dihitung dan diprediksikan lebih dari cukup guna mengatasi persoalan gizi buruk,” ujar Ketua DPD KNPI Kota Kupang, Noverius Nggili kepada KURSOR semalam berkaitan dengan pernyataan  Dr. David Pandie    kalau ada pemerintahan yang masih memproduksi anak dengan gizi buruk, maka kepala daerah yang mengepalai pemerintahan tersebut harus diberi rapor merah dan tidak perlu dipilih lagi untuk kepemimpinan berikut”.
    Dia menambahkan mestinya pengelolaan dana MDGs sudah diatur sampai pada tingkat audit pemanfaatan anggarannya, pihak auditor sebaiknya juga transparan dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang daerah-daerah yang bermasalah dalam pemanfaatan anggaran tersebut, sehingga bisa di korelasikan antara keberhasilan pemanfaatan anggaran dengan kenyataan lapangan tingkat keberhasilan meniadakan gizi buruk tersebut.
    Selanjutnya disebutkan jika pemanfaatan anggaran sudah maksimum dan masih ada juga angka gizi buruknya berarti patut diduga adanya penyelewengan pemanfaatan anggaran MDGs pada daerah tersebut dan yang palingg bertanggungjawab adalah kepala daerahnya. Dan sudah seharusnya kepala daerah tersebut tidak usah dipercaya lagi.
    Menurut dia, selain kepala daerah, kemungkinan persoalannya juga ada pada mis perencanaan pemanfaatan anggran dan kebutuhan wilayah. Kebutuhan konteks lokal dalam pengentasan gizi buruk berbeda dengan perencanaan yang justru tidak cocok untuk kondisi masyarakat wilayah tersebut. Misalnya, masyarakat biasa makan kacang hijau dan marungga yang datang biskuit dan susu krim.
    “Kalau mengelola persoalan gizi buruk sebagai persoalan mendasar masyarakat ini saja tidak bisa, berati kemapuannya mengelola anggaran pada sektor lainnya juga harus dipertanyakan,” katanya.
    Sebagaimana diberitakan Dr. David Pandie saat menjadi keynotespeaker pada konsultasi publik Mengawal Pencapaian MDG’s melalui Perencanaan Dan Penganggaran Program Pembangunan di Kabupaten Kupang yang diselenggarakan Yayasan Alfa Omega (YAO) di Pusdiklat YAO, Sabtu (6/8) mengatakan kalau ada pemerintahan yang masih memproduksi anak dengan  gizi buruk, maka pejabat seperti ini dapat rapor merah dan tidak perlu dipilih lagi.
    Mau menjadi kepala daerah tidak pernah berikir next generation tetapi next election. Demokrasi kita adalah demokrasi parasit, kekuasaan yang memangsa, inilah bentuk pemerintahan dracula.
    “Anggaran triliunan rupiah habis tetapi milenium develoment goals (MDGs) pada angka ketiga, empat dan lima masih merah, pemerinathan seperti ini stop saja atau tidak usah lanjutkan,” tegas David  Pandie.
    Tahun 1996-2010, 2010 lebih buruk dari 1996. Anggaran triliunan rupiah hanya membiayai kemunduran masyarakat. Forum-fourm ini ada kesadaran membangun suatu upaya untuk mengontrol jalannnya pemerintahan.
    Dikemukakan pembangunan tidak seperti cinderela  yang membawa sepatu pangeran. Mitos pembangunan, menekanakan pertumbuhan dan kesejahteraan.
    Tetapi ternyata sarkasme katanya yakni pembangunan meningkatkan kemiskinan. Ini suatu realitas. Apa yang salah. Mengapa terjadi gap antara harapan dan kenyataan.
    Selanjutnya dia menjelaskan skema otonomi daerah (otda) belum menunjukan hakekat otda yakni meningkatkan kesejateraan rakyat yang membutuhkan empat hal yakni  rakyat sehat, cerdas, rakyat terbuka terhadap berbagai isolosi fisik dan  dan rakyat memiliki potensi melakukan pembelanjaan/kemampuan beli meningkatkan.
    Kalau empat ini menunjukkan peningkatan artinya telah memenuhi basic needs (kebutuhan dasar) masyarakat.
    Dalam konteks MDGS, suatu kesepkatan global untuk berupaya meningkatkan pembangunan mengatasi persoalan-persoalan mendasar. Mulai dari kemiskinan sampai lingkungan hidup.
    Menurut dia, golden ages seorang anak 0-2 tahun. Jika 0-2 tahun, perlakuan gizi terhadap anak buruk, maka anak akan mengalami cacat permanen artinya tidak mungkin diperbaharui lagi. Jika ini sangat banyak di NTT maka berpotensi lost generation. Satu generasi yang hilang.
    Diuraikan kualitas pendidikan di NTT, saat Ujian Nasional standar paling di bawah nomor 33, dibawah Papua. Ujian Sekolah urutan keenam se Indonsia. Ini adalah sebuah fakta.
    Gejala lost generation bukan impian tetapi kenyataan. Fakta lain, waktu seleksi nasional untuk penerimaan mahasiswa baru, kemampuan hasil lulusan anak NTT menunjukkan angka memperihatinkan, katanya.
    Dia mengemukakan untuk pengembangan SDM  penataan pada unsur hulu dan hilir. Kesehatan adalah aspek hulu dan pendidikan adalah unsur hilir.
    Kalau unsur program peningkatan kualitas ibu dan anak tidak mendapat perhatian yang baik, katanya meski sekolah mau canggih sekalipun untuk mendapat grate tinggi sulit.
    Masyarakat boleh mengalami krisis tetapi anak-anak yang dalam pertumbuhan tahun emas tidak boleh krisis.
    “Kalau masih ada gizi buruk, kita sudah gagal dalam membanguan SDM. Inilah yang disebut sebagai suatu proses pembangunan yang menyingkirkan martabat manusia. Pemerintahan yang mengabaikan ibu dan anak sampai dua tahun adalah pemerintahan yang tidak humanis,” ujarnya.
    Sebelumnya pada kesempatan yang sama ia mengemukakan pemerintahan daerah pemerintahan Bahtera Nuh saat ini. Dapat kekuasaan semua naik, anak, istri, saudara, om, tanta. Ini yang disebut pemerintahan patrilianisme.
    Satu naik semua naik, kakak, adik, om, tanta, istri, saudara. Sekarang, yang terjadi di daerah bukan demokrasi tetapi oligarki, pemerintahan yang dikusasi oleh beberapa orang yang selalu mengatasnamakan beberapa elite yang mengkooptasi identitas yang disebut patrialianisme.
    Menurut dia, gaya pemerintahan Bahtera Nuh. Satu naik, semua naik, Nuh, pilih anak sepasang, sapi sepasang, burung sepasang, semua milik Nuh saja dalam bahtera.
    “Pemerintahan daerah pemerintahan Bahtera Nuh. Dapat kekuasaan kasi masuk anak, istri, saudara, pemerinahan patriliansime,” ujarnya. (Koran KURSOR Edisi Sabtu, 13 Agustus 2011/non)


Rabu, 10 Agustus 2011

MENGKAJI PERGELARAN PASUKAN TNI DI NTT PADA TAHUN 2024


          Oleh:   Hipolitus Wangge 
           Peneliti Pacivis/UI


Dimuat di Harian Pos Kupang, edisi 5 dan 6 Agustus 2011
        Beberapa bulan lalu, penulis dihubungi  oleh salah satu sanak famili di Kupang. Beliau memberitahu bahwa akan dibangun komando daerah militer (Kodim) di Kabupaten Rote Ndao. Beberapa hari kemudian, hal tersebut dikonfirmasikan kembali ke salah seorang pakar militer  dan beliau juga memastikan bahwa akan diproyeksikan sejumlah besar gelar pasukan dalam bentuk komando-komando teritori yang mengkoordinir satuan-satuan tempur di seluruh wilayah NTT. Gelaran pasukan TNI tersebut bertujuan untuk mencapai kekuatan pertahanan minimal (minimum essential force) TNI sampai tahun 2024 di daerah-daerah strategis, seperti NTT. Perlu dicatat bahwa proyeksi kekuatan TNI di wilayah NTT didominasi oleh  matra darat.
         Berdasarkan Surat Keputusan KASAD Nomor 36/X/2006 tentang Postur TNI Angkatan Darat Tahun 2005-2024, pergelaran pasukan di  seluruh wilayah Indonesia dicapai dalam tiga tahap, yakni tahap pertama (2005-2009), tahap kedua (2010-2014), tahap ketiga (2015-2019), dan tahap keempat (2020-2024).  Setiap komando teritorial di seluruh wilayah Indonesia akan ditambah beberapa struktur teritori dan satuan tempur. NTT merupakan satu dari tiga propinsi yang termasuk dalam Komando Daerah Militer (Kodam) IX Udayana yang bermarkas di Denpasar. Secara ringkas, di seluruh wilayah NTT akan ditambah 60000 pasukan sampai 2024. Pada tahun 2011, pergelaran pasukan di NTT sudah berada pada tahap kedua. Pada tahap kedua sampai tahap keempat (2010-2024), di NTT akan diproyeksikan 3 komando teritorial yang terdiri dari 1 Komando Resort Militer (Korem) bermarkas di Ende, 3 Komando Distrik Militer (Kodim) masing-masing di Lembata, Labuan Bajo dan Pulau Rote Ndao, serta 13 Komando Rayon Militer (Koramil) di Biboki Anleu, Holilulik, Haekesak, Nangapenda, Ngongi, Nonbera Maukaro, Kota Baru, Lio Timur, Wera, Pekat, Wolojita, Magekoba. Sedangkan satuan tempur yang ditambahkan adalah 1 Brigade Infanteri di Soe, 1 Yonif diperkuat di Atambua (pengembangan Yonif 744/Satya, 2 batalyon infanteri (Yonif) di Kefamenanu dan Maumere serta 1 Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) di Kupang.
         Pergelaran pasukan TNI diatas menggambarkan betapa ekspansifnya pembangunan postur pertahanan TNI di wilayah NTT yang secara geografis merupakan wilayah kepulauan dengan karakteristik ancaman yang internal dan eksternal minimal. Hal tersebut tidak terlepas dari logika komando teritorial yang masih sangat dominan dalam membangun pertahanan negara dan kekuatan ideal TNI sekarang dan pada masa yang akan datang.

Wehrkreise
         Dilihat dari perkembangan sejarahnya, komando teritorial merupakan proses institusionalisasi dari strategi militer menggunakan perang gerylia pada saat negara Indonesia berada pada situasi darurat perang pasca diberlakukannya perjanjian Renville (Juli 1947).
         Sejak diberlakukan isi perjanjian Renville, strategi pertahanan militer Indonesia berubah dari pertahanan linear konvensional menjadi lingkaran pertahanan (wehrkreise) berdasarkan wilayahnya masing-masing. Hal tersebut diinisiasi oleh garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dengan daerah pendudukan  Belanda. Berdasarkan garis demarkasi tersebut militer Indonesia memilih strategi gerilya dengan menempatkan pasukan-pasukan teritorial di setiap kantung pertahanan wilayah yang telah diduduki Belanda. Sistem  Wehrkreise (Muhaimin:1982) pada intinya membagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran (kreise) yang memungkinkan satuan-satuan militer secara mandiri mempertahankan (wehr) lingkaran pertahanannya. 
         Kemandirian pertahanan melingkar ini dilakukan dengan melakukan mobilisasi kekuatan rakyat dan seluruh sumber daya yang berada di masing-masing lingkaran pertahanan. Status darurat perang membuat gubernur militer dalam setiap wilayah pertahanan selain melalukan tugas militer juga menjalankan fungsi pemerintahan sipil. Hal tersebut menjadikan para pejabat sipil praktis hanya menjadi penasehat bagi para pejabat militer.
         Konsep wehrkreise kemudian dirombak menjadi bentuk 16 Komando Daerah Militer (Kodam) melalui Surat Keputusan (SK) No. KPTS/7318/1960. Proses institusionalisasi strategi perang gerilya yang bersifat tentatif tersebut bergeser menjadi bagian permanen dari strategi pertahanan nasional  sejak pengadopsian  doktrin sishankamrata dan dotrin dwi fungsi ABRI. Kedua doktrin tersebut pada dasarnya mengamanatkan keterlibatan aktif militer dalam bidang politik, sosial maupun ekonomi kehidupan berbangsa dan bernegara. Keterlibatan tersebut bertujuan untuk memobilisasi seluruh sumber daya nasional demi membangun pertahanan negara.
        Implementasi dari kedua doktrin tersebut dapat dilihat pada era orde lama dan orde baru. Pada era orde lama struktur komando teritorial difungsikan sebagai instrumen oleh militer untuk mengimbangi jaringan komunisme yang mengakar sampai tingkatan desa. Pada era orde baru, struktur komando teritorial digunakan oleh rezim yang berkuasa sebagai instrumen intilijen yang mengawasi dan memetakan berbagai kelompok-kelompok masyarakat, khususnya yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Hal tersebut dipertegas dengan dominasi peran militer dalam proses politik nasional.

Tidak sesuai Amanat Reformasi
            Pasca orde baru, salah satu amanat reformasi adalah melikuidasi beberapa komando teritorial yang tidak berada di daerah rawan konflik dimulai dari struktur terkecil hingga teratas (Babinsa, Koramil, Kodim, Korem, Kodam) dan menghilangkan dominasi struktur teritorial dalam kehidupan sipil masyarakat Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada trauma masyarakat terhadap pengawasan dan penahanan tanpa proses pengadilan dan kekerasan ham yang dilakukan oleh anggota komando teritorial pada era orde baru. Trauma masyarakat tersebut bersumber dari fungsi iintilijen yang masih melekat pada setiap komando teritorial. Fungsi tersebut selama ini bahkan sampai sekarang masih terus dipraktekkan, namun tidak disertai dengan penangkapan dan penahanan seperti era orde baru.
            Pasca reformasi 1998, seluruh sitem pemerintahan dan tata kelembagaan didasarkan pada demokrasi. Demokrasi mengamanatkan supremasi dan ortoritas sipil. Hal ini mendorong perubahan dalam doktrin, strategi dan operasi-taktik militer TNI (Widjojo:2011). Keberadaan lembaga pemberdayaan wilayah seperti komando teritorial tidak sesuai lagi dengan sistem demokrasi, dimana pemberdayaan wilayah sepenuhnya sudah harus diserahkan  kepada sipil tanpa harus dibanyangi dengan dominasi militer seperti sebelum reformasi.
           NTT merupakan wilayah terdepan NKRI yang tidak memiliki potensi konflik perbatasan dan internal yang signifikan. Bandingkan dengan Papua yang masih dihantui persoalan separatisme, demikian pula dengan Aceh yang masih berkutat dengan persoalan rekonsiliasi dengan para mantan milisi Gerakan Aceh Merdeka. Sedangkan NTT, konflik yang dulu diisiasi oleh gerakan pengacau keamanan dan milisi, sekarang  relatif tenang. Alasan gelar operasi militer sudah tidak kontekstual dengan wilayah NTT. Hal tersebut diperkuat dengan upaya pembangunan masyarakat, khususnya di daerah perbatasan yang dijauhkan dari pendekatan militeristik.

Inkonstitusional
          Pergelaran pasukan dalam jumlah yang banyak, khususnya komando teritorial di wilayah NTT tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan tata peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai reformasi TNI sejak 1998. Pasal 10,11, dan 12 UUD 1945 mensyaratkan untuk melaksanakan fungsi pertahanan nasional, Presiden memiliki alat pertahanan negara yaitu TNI dan untuk melaksankan pengerahan TNI harus dideklarasikan bersama DPR. Di masa damai, TNI tidak dapat dikerahkan tanpa prakondisi-prakondisi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
        Menurut doktrin pertahanan TNI, di masa damai TNI dapat dikerahkan dalam tiga kondisi. Pertama, menjalankan  fungsi pertahanan. Fungsi pertahanan dilaksanakan guna menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Namun, hal tersebut harus didasarkan pada objektifitas profesionalisme militer. Kedua, tugas perbantuan TNI di masa damai berdasarkan keputusan politik. Tugas ini dijalankan berdasarkan kondisi objektif, dimana otoritas sipil, khususnya pemerintah daerah tidak mampu menjalankan pengawasan dan pengendalian keamanan masyarakat. Dalam mengatasi kerusuhan, pemerintah daerah memiliki alat keamanan negara, yakni polisi untuk mengendalikan kerusuhan. Apabila polisi tidak mampu mengendalikan kerusuhan tersebut, maka berdasarkan perintah presiden, TNI dapat dikerahkan. Ketiga, eskalasi keadaan darurat. Berdasarkan  Peraturan Pemerintah  Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya, mensyaratkan dua keadaan pengerahan TNI, yakni deklarasi keadaan darurat militer dan darurat perang. Kedua keadaan ini mensyaratkan tugas pemerintahan  dikendalikan oleh militer berdasarkan keputusan presiden bersama DPR.
         Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang TNI, tidak terdapat satu pasal yang mensyaratkan pergelaran TNI dalam bentuk komando-komando teritorial dan satuan-satuan tempur.  Di pasal 5 Undang-Undang 32 Tahun 2004, bahkan secara tegas mengemukakan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan  tugasnya berdasarkan  kebijakan dan keputusan politik. Hal tersebut mengidikasikan, bahwa kedaulatan rakyat yang diwakilkan kepada pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat yang menentukan pengerahan dan penggunaan TNI. Sedangkan, penggunaan komando teritorial, hanya ditegaskan pada Peraturan Pemerintah  23 Tahun 1959 Tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Efektifitas penggunaan komando-komando teritorial hanya pada saat keadaan darurat militer dan darurat perang, bukan pada masa damai. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, di masa damai pergelaran pasukan TNI, baik dalam bentuk komando-komando teritorial maupun satuan-satuan tempur tidak memiliki payung hukum yang memberikan legalitas.
         Pada masa damai seluruh fungsi pemberdayaan wilayah menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dibawah koordinasi pemerintah pusat. Hal tersebut membuat NTT sebagai salah satu wilayah terdepan, sangat tidak efektif jika komando-komando teritorial yang ada dan yang akan ditambah tidak dikoreksi. 

Proporsional dan Profesionalisme
           Pergelaran pasukan di NTT seharusnya dilihat dari kondisi geografis berupa wilayah kepulauan. Berdasarkan Buku Putih Pertahanan tahun 2008, fungsi pertahanan nasional harus disesuaikan dengan kondisi geografis suatu wilayah. Namun, dalam prakteknya pergelaran pasukan di wilayah-wilayah kepulauan justru didominasi oleh matra darat.
          NTT adalah wilayah dengan jumlah pulau 566 pulau dan hanya 42 pulau diantaranya yang sudah ditempati oleh 4.679. 316 penduduk. Wilayah NTT didominasi oleh  daerah-daerah berbentuk pegunungan dan perbukitan dengan sedikit daerah dataran. Berdasarkan kondisi geografi tersebut, idealnya proyeksi kekuatan TNI adalah pembanguan matra laut (Angkatan Laut) dan matra udara (Angkatan Udara). Di NTT hanya terdapat satu pangkalan laut AL (Lanal) yang berada di Kupang. Pangkalan laut tersebut berada di bawah komando Pangkalan Laut Utama AL (Lantamal) VIII yang bermarkas di Ambon. Melihat posisi strategis Indonesia yang berbatasan langsung dengan Australia, maka sangat rasional jika perlu ditambahkan satu pangkalan laut dengan dukungan prasarana minimal seperti radar yang memadai. Sebagai perbandingan berdasarkan laporan International Institute for Strategic Studiestahun 2010 yang berbasis di Inggris dan Buku Putih Pertahanan Australia Tahun 2007, Australia sedang dan akan mengembangkan pertahanan maritim di wilayah Asia Pasifik sampai tahun 2033, dimana pada tahun tersebut Australia akan memiliki 12 kapal selam berkekuatan nuklir (nuclear-submarine) dan diproyeksikan memiliki satu kapal induk (aircraft carrier). Hal tersebut membuat kebutuhan penguatan Angkatan Laut di NTT menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
         Demikian pula pangkalan udara (Lanud) Penfui yang menjadi subordinat dari Komando Operasional AU (Koops) II bermarkas di Makasar. Prasarana minimal seperti rudal, sangat membantu untuk melakukan tugas pengintaian, pengawasan dan penindakan oleh kedua angkatan tersebut.
          Namun demikian, yang perlu ditekankan adalah pembangunan kekuatan baik pangkalan laut maupun pangkalan udara  dan seharusnya satuan tempur darat di wilayah NTT harus ditempatkan di wilayah terluar dari pulau. Hal ini bukan untuk memprovokasi negara lain, tetapi merupakan bagian dari upaya menjaga kedaulatan wilayah nasional dan mengurangi gesekan-gesekan dengan masyarakat sipil.
          Pergelaran pasukan di NTT sampai tahun 2024 merupakan bagian dari pembangunan postur pertahanan TNI 2024. Postur pertahanan TNI terdiri atas tiga komponen utama. Pertama, pembangunan kekuatan yang terdiri dari satuan-satuan tempur seperti batalyon infanteri, batalyon kavaleri dan zeni tempur. Kedua, pembangunan kemampuan. Pembangunan kemampuan ditujukkan bagi prajurit-prajurit TNI dalam menjalankan tugas pertahanan negara. Kemampuan yang ditingkatkan adalah daya tembak dan dan daya gerak. Daya tembak berkaitan dengan kemampuan persejantaan dan teknologi militer, sedangkan daya gerak merupakan kemampuan prajurit dalam melakukan operasional taktis melalui mobilisasi. Ketiga adalah pergelaran. Pergelaran terdiri dari pembangunan komando-komando teritorial dan markas brigade. Kedua bentuk pergelaran tersebut menjalankan fungsi koordinasi terhadap satuan-satuan tempur yang ditempatkan di wilayah-wilayah NKRI.
          Berdasarkan postur pertahanan tersebut menempatkan NTT sebagai bagian dari wilayah terdepan yang diproyeksikan sebagai daerah pertahanan utama, mengingat perbatasan NTT dengan kedua negara, yakni Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dan Australia. Namun, dalam pelaksanaan di lapangan terdapat banyak penyimpangan khususnya dalam tata hubungan sipil dan militer, serta karakteristik pasukan yang berada di wilayah seperti NTT tidak sesuai dengan arah pembangunan daerah tersebut.

Hak Asasi Manusia
           Berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) dari tahun        Januari 2009 sampai tahun Maret 2011, terdapat 11 kasus pelanggaran ham yang terjadi di NTT. Semua kasus tersebut melibatkan baik anggota maupun lembaga pemberdayaan wilayah TNI terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia masyarakat sipil. Kasus-kasus tersebut diringkas menjadi kasus pelanggaran hak kebebasan pribadi, hak kesejahteraan hidup, hak kesusilaan dan hak atas hidup. Salah satu pelanggaran ham yang masih diproses adalah kematian Charles Mali (21 tahun) di Atambua oleh sembilan anggota  Yonif 744/Satya Yudha Bakti. Belum lagi indikasi perlindungan TNI terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan yang melakukan eksplorasi di daerah-daerah yang kaya mangan, emas, biji besi, maupun tenaga geothermal.
           Berdasarkan laporan tersebut dapat dijelaskan bahwa keberadaan TNI yang begitu banyak, terutama di NTT sampai tahun 2024 akan menimbulkan gesekan dan ketegangan antara militer dan sipil, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan konflik sipil dengan militer.
           Penolakan warga masyarakat di Ende, Nangapenda,dan Maumere terhadap pembangunan Korem beberapa tahun lalu. Penolakan terhadap pembangunan markas brigade infanteri di Camplong, serta konflik lahan milik Petrus Tilis dengan TNI untuk kebutuhan pembangunan markas teritorial pada tahun 2009, merupakan bentuk-bentuk kesadaran dan kewaspadaan warga terhadap pentingnya tata kelola hubungan sipil dan militer berdasarkan penghargaan atas hak asasi warga negara. Hak asasi manusia merupakan bagian integral dalam sistem demokrasi yang dipilih oleh bangsa ini, sehingga seluruh komponen bangsa harus menginternailisasi nilai-nilai demokrasi ke dalam praktek tugas kelembagaan, termasuk TNI.
            Idealnya hubungan sipil dengan militer (Huntington:1957) adalah kontrol sipil objektif. Pola hubungan sipil dengan militer dalam kontrol sipil objektif adalah militer merupakan subordinasi sipil dan menjadi alat pertahanan negara yang tunduk pada supremasi sipil. Model ini menuntut kepatuhan dan kesadaran militer untuk meneirma pilihan demokrasi yang dipilih oleh  masyarakat. Namun, dengan catatan sipil harus menghormati otoritas internal militer dalam membangun seluruh struktur dan mekanisme kelembagaannya.  Model ini sangat berbeda dengan kontrol sipil subjektif yang menempatkan militer sebagai alat kekuasaan atau partai tertentu. Model tersebut pernah dilakukan ketika era orde baru.
           Berdasarkan kontrol sipil objektif, TNI harus tunduk terhadap otoritas sipil dalam mengatur pemberdayaan wilayah suatu daerah di masa damai. Pembanguan berbagai komando teritorial di  NTT oleh TNI seharusnya mendapat persejutuan dan konsensus sipil, baik pemerintah daerah maupun masyarakat sekitar. TNI tidak memiliki payung hukum legal untuk membangun sejumlah komando teritorial dan satuan-satuan tempur. Tanpa adanya persetujuan dari masyarakat maupun pemerintah daerah NTT, sejumlah besar proyek pengembangan markas-markas komando teritorial dan satuan tempur  harus dihentikan atau ditinjau kembali. Pemaksaaan terhadap pembangunan komando-komando teritorial maupun satuan-satuan tempur merupakan bentuk penyimpangan yang dikategorikan dalam ranah demokrasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
           Dampak pelanggaran ham seperti diatas dapat dieliminasi dengan pemetaan pembangunan kekuatan militer TNI secara proposional. Pembangunan pangkalan-pangkalan TNI dan keberadaan komando-komando teritorial, serta satuan-satuan tempur di NTT harus ditempatkan di wilayah terluar pulau dan bukan ditempatkan di tengah-tengah wilayah padat penduduk. Selanjutnya para prajurit yang ditempatkan di wilayah-wilayah terdepan, harus dibekali dengan kemampuan ham yang memadai, baik sebelum penempatan, penempatan dan pasca penempatan. Kemampuan seperti ini harus terus dievaluasi dengan memberikan penghargaan dan hukuman yang layak.

Karakteristik Pasukan
           Berdasarkan SK KASAD NO. 36/X/2006, pergelaran satuan-satuan tempur di wilayah NTT berkarteristik ofensif. Karakterristik ini dapat dilihat dari jumlah kesatuan infanteri, kavaleri maupun zeni yang ditempatkan, baik di wilayah perbatasan (Timor Barat)  maupun wilayah lain seperti Flores dan Sumba. Satuan-satuan tempur yang direncanakan untuk dibangun adalah  1 batalyon infanteri (Yonif) diperkuat dari Yonif 744 yang akan ditempatkan di Atambua,  2 yonif di Maumere dan Kefamenanu, serta 1 detasemen zeni tempur (Denzipur) di Kupang. Sedangkan berdasarkan pernyataan Komandan Korem 161/Wirasakti, Kol. I Dewa Ketut Siangan akan ditambahkan 1 batalyon artileri udara (Yonarhanud) di Soe, 1 batalyon kavaleri (Yonkav) di Atambua, dan 1 batalyon artileri medan (Yonarmed) di Kefamenanu.
            Sedangkan unsur-unsur administrasi yang sebenarnya cocok dengan arah pembangunan daerah, seperti batalyon kesehatan (yonkes), batalyon perbekalan dan angkutan (Yonbekang) tidak dinyakatakan dalam surat keputusan tersebut maupun dalam pernyataan komandan Korem 161. Melihat kebutuhan masyarakat NTT, seperti di wilayah perbatasan batalyon kesehatan dapat didayagunakan untuk membantu masyarakat sipil, bukan batalyon tempur.
           Karateristik dari empat unsur tempur yakni, infanteri, artileri, kavaleri dan zeni adalah ofensif. Hal tersebut mengidikasikan perbatasan RI-RDTL berada dalam tingkat kerawanan militer, bahkan kerawanan perang. Unsur infanteri dan kavaleri bertugas menghancurkan barikade pertahanan musuh. Unsur kavaleri bertugas mendukung kekuatan infanteri dan artileri untuk menghancurkan kekuatan utama musuh.  Kavaleri dipersenjatai dengan panser dan tank sebagai kekuatan utama. Unsur perbantuan yakni zeni yang terdiri dari tenaga ahli dan logistik.
           Berdasarkan karakteristik tersebut, pergelaran pasukan TNI di wilayah NTT cenderung mengedepankan pertempuran fisik di wilayah yang dinilai rawan konflik. Padahal, wilayah NTT jauh dari kriteria rawan konflik, sehingga pergelaran pasukan tersebut cenderung dipaksakan.
Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, pemetaan atas permasalahan di NTT, khususnya di wilayah perbatasan adalah permasalahan non-tradisional. Permasalahan non-tradisional berdasarkan surat keputusan tersebut adalah lintas batas ilegal, penyeludupan kebutuhan pokok dan tapal batas yang masih terus dibahas oleh pemerintah RI dan RDTL. Selain masalah-masalah tersebut, berdasarkan temuan di lapangan, permasalahan non-tradisional lainnya adalah penangkapan ikan ilegal dan  penyelundupan kayu ilegal, serta penggarapan kebun secara ilegal. Berdasarkan ancaman-ancaman non-tradisional tersebut, seharusnya otoritas sipil seperti dinas imigrasi, dinas bea dan cukai, serta polisi setempat yang menangani dan menyelesaikan, bukan TNI. TNI hanya ditempatkan sebatas menjalankan fungsi pertahanan, yakni menjaga wilayah perbatasan dengan jumlah yang proporsional dan mengedepankan profesionalitas militer.
Pergelaran pasukan TNI harus dikaji secara komprehensif.
            NTT adalah wilayah dengan karakteristik tersendiri sebagai wilayah kepulauan dengan tingkat pembangunan minimal. Penambahan pasukan yang begitu banyak hanya akan menimbulkan efek yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
           Markas Besar TNI perlu meninjau kembali pergelaran pasukan yang sangat masif di wilayah kepulauan , seperti NTT. Idealnya dengan jumlah anggaran pertahanan yang mencapai 0,75% (2010) dari pendapatan nasional, seharusnya pergelaran pasukan perlu ditinjau kembali. Hal tersebut mengingat kebutuhan paling mendesak adalah penguatan alat utama sistem pertahanan TNI yang jauh dari standar memadai untuk menjaga kedaulatan nasional. Selain itu pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas dan supremasi sipil harus terus memantau rencana pergelaran pasukan yang sangat berpotensi meningkatkan ketegangan dengan masyarakat sipil. Kelompok masyarakat maupun lembaga keagamaan yang menjadi panutan masyarakat harus terus mendorong upaya peninjauan kembali pergelaran pasukan TNI, khususnya matra darat.
          NTT adalah wilayah terdepan yang perlu mengedepankan persepektif pembangunan berbasis kearifan lokal. Menjadi tanggungjawab seluruh komponen masyarakat NTT untuk memetakkan prioritas pemberdayaan wilayah untuk kesejateraan masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, hendaknya pendekatan militeristik tidak perlu mencampuri bahkan menghambat proses pembanguan NTT. Proyeksi pergelaran pasukan TNI di NTT harus ditinjau kembali, karena sangat tidak sesuai dengan proses pembangunan daerah yang terus dilakukan.*