Oleh: Dominggus Elcid Li*
Reformasi yang pernah lantang diteriakan belasan tahun silam ada di titik nadir. Ini ditandai dengan kasus korupsi hanya menjadi barang eksploitasi media, dan ajang intrik para politikus, tanpa mampu menemukan titik keadilan untuk menyatakan ini benar atau salah.
Gurita korupsi
Tidak bermaksud membantah sequel tulisan George Junus Aditjondro (GJA) tentang Gurita Cikeas, tetapi korupsi yang dimaksud memang tidak lagi memusat pada Rezim Cikeas, tetapi menyebar merata, tanpa mampu dibendung dan diapa-apakan. Bahkan bagi banyak orang sudah dianggap biasa. Sehingga para pejabat publik sudah berani berbicara ‘Korupsi boleh, asal jangan banyak-banyak’.
Secara umum gambaran pelaku korupsi secara sistematis tidak lagi ada dalam posisi piramida terbalik, dengan bagan pembagian kekuasaan vertikal, tetapi berbagai organisasi kejahatan posisinya ada dalam pola sejajar horizontal, di mana semua anggota memiliki otoritas terbatas tetapi memiliki code of conduct yang sama, yakni tidak saling melaporkan atau menjaga informasi kriminal (baca: nama baik di depan publik).
Sehingga organisasi kejahatan model ini memang tidak lagi ada dalam kerangka analisis aktor, tetapi merupakan sistem kriminal yang memang membajak otoritas negara secara berkelompok. Sistem kriminal ini tidak lagi mengenal kepala rezim sebagai gembong utama, tetapi sudah menyebar merata dalam pola konfederasi kelompok, dengan otoritas terbatas, tidak saling melangkahi.
Sederhananya dalam sejarah mafia, model mafia yang sedang berlaku di Indonesia bukan ada dalam skema Mafia Sicilia Cosa Nosta yang hirarkis dan lebih menekankan pola kontrol vertikal, tetapi merupakan model Mafia Cammora yang beroperasi di Napoli. Masyarakat di sana tidak menyebutnya orang tertentu di belakang layar, tapi menyebutnya sebagai Il sistema. Sederhananya, dalam pola penegakan hukum memotong salah satu kepala bagian, hanya menghidupkan sekian kaki yang akan menjadi sekian kepala.
Berhadapan dengan model pergerakan organisasi kriminal macam ini institusi kenegaraan kita sudah tidak mampu, karena sekian organisasi kriminal yang ada (legal maupun ilegal) sudah menguasai institusi ini, atau ada dalam hegemoni kelompok mafia ini.
Tayangan di media elektronik soal bandit yang melarikan diri, dan melaporkan soal jaringan bandit lainnya, kini menjadi tayangan eksklusif, tanpa satu insitusi kenegaraan mampu berbuat apa-apa. Ini bukti nyata bahwa seluruh institusi kenegaraan kita sudah invalid, baik yang sifatnya menjaga otoritas publik semacam kepolisian, maupun yang bergerak di bawah tanah semacam lembaga inteljen telah ada di bawah tawanan organisasi kriminal.
Revolusi
Di tahun 1998, orang masih gembira menyebut reformasi untuk mudurnya kepala rezim yang sudah usur. Sedangkan perjuangan untuk demokratisasi sendiri hanya merupakan fatamorgana. Demokrasi hanya untuk para oligark yang berduit, dan para aktivis yang korup dimakan il sistema.
Isu menjelang Pemilu 2014 bukan lagi soal bagaimana agar negara tidak hancur, tetapi hanya soal mekanisme pembagian kekuasaan diantara para taipan politik. Partai-partai kecil disortir layaknya komoditas pertanian yang tak layak masuk super market. Jadi para politikus senayan lebih berpikir soal efektivitas berkegiatan di Senayan, daripada bertanya apakah sistem politik yang sedang dirancang realistis untuk Indonesia. Kegagalan reformasi yang hanya meletakaan kejahatan sebagai tontonan, tidak dilihat sumbu persoalan, tetapi malah hanya berpikir bagaimana kue kekuasaan dibagi diantara bandar-bandar besar.
Bagi kepala pemerintahan saat ini perkara korupsi mungkin hanya soal nama baik partai, sehingga kongres sebaga ajang konsolidasi kelompok dirasa sudah cukup untuk menyelesaikan persoalan internal organ.
Sebaliknya, bagi kita rakyat Indonesia, kondisi saat ini merupakan tanda-tanda kehancuran. Ketika seluruh insititusi kenegaraan tidak lagi berfungsi, dan dikuasai organisasi kriminal, maka cita-cita kenegaraan Indonesia semakin pupus.
Berhadapan dengan sistem kriminal, tidak mungkin kita berbicara soal pergantian aktor atau hal yang remeh temeh semancam parliamentary treshold, tidak ada garansi bahwa dengan semakin sedikit bandar (baca: partai), angka kriminalitas semakin berkurang alias efektivitas kerja semakin baik. Apa ukurannya? Ketika suara rakyat semakin tidak terdengar dalam pola permainan para bandar besar (baca: oligark), apa masih penting bicara soal sekian persen suara dan sistem representasi yang tidak memiliki daya apa-apa?
Seharusnya menjelang 2014 ini kita tidak lagi berbicara soal siapa naik kereta apa (baca: partai apa), tetapi bertanya apakah sistem yang ada sekarang tidak membuat siapa pun yang masuk akan menjadi kriminal baru? Jika sistem yang ada hanya menciptakan kriminal baru, kenapa masih dipertahankan? Bahkan dibikin semakin selektif dan hanya mampu diakses oleh para oligark? Atau pun siapa pun yang mencoba masuk akan berubah menjadi kriminal karena harus mencuri untuk membiayai partai?
Jika seluruh komponen legal telah berubah menjadi kriminal, atau pun aparatusnya ada dalam hegemoni organisasi hitam, maka kita sebagai rakyat berhak memutuskan apakah kita masih mau menjadi tawanan dalam organisasi kejahatan itu atau tidak. Sistem politik yang dikuasai para bandar bukan demokrasi yang kita cita-citakan. Sistem politik yang tidak merakyat jauh dari cita-cita kemerdekaan.
Jika dulu kita butuh sekian abad untuk menyadari bahwa kita sedang dijajah, kini dengan semakin cepatnya arus informasi, dan ketersambungan antara warga, proses pemahaman terhadap kondisi penjajahan oleh organisasi kriminal pun semakin cepat.
Dengan sistem macam ini, Pemilu 2014 mungkin menarik untuk para bandar, tetapi tidak untuk rakyat. Negara jelas tidak sama dengan mafia. Dalam tawanan mafia para korban hanya bisa menonton, di dalam negara rakyat adalah warga yang berdaya. Pemberontakan rakyat yang ditawan dalam sistem kriminal mungkin disebut revolusi.
* warga negara Indonesia masih belajar di Birmingham
0 komentar:
Posting Komentar
"Silahkan Tulis Yang Ada dalam Kepala Anda"