Oleh Pius Rengka
Pos Kupang, Jumat, 7 Januari 2011 | 00:01 WIB
NTT, sebuah negeri nun jauh di ufuk selatan Republik Indonesia. Propinsi ini tak pernah asing dari kisah keterbelakangan, kemiskinan dan korupsi. Bahkan sejak pertama kali daerah ini berdiri sebagai propinsi, sejak itu pulalah kisah tragis dimulai. Anak-anak kampung, ibu rumah tangga, gamang menghadapi tanggung jawab hidup, karena tak pupus dari duri derita. Maka, tampak kasat mata, seolah kerangka tulang berdaging tipis yang enggan remuk dimakan musim bergerak dengan ritme yang mengerikan.
Kita bertanya, apakah kisah duka propinsi ini hanya semacam nasib ataukah semua yang telah, sedang dan mungkin akan terjadi adalah akibat tak terpisahkan dari rentetan kebijakan publik yang menjauh dari akses dan kontrol masyarakat yang hendak diurusnya? Apakah realitas sosial, politik, hukum, budaya, ataupun agama dan lain sebagainya yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya memang harus selalu dilihat secara kontemplatif dan kritis selayaknya sejarah peradaban (history of civilization)? Ataukah kebijakan publik yang selama ini diterapkan sekadar looking back tanpa inovasi dan kreasi, karena para pengambil kebijakan publik gagal mengelola kepentingan umum dan jangan-jangan mereka pun lahir dari konteks masyarakat gizi buruk? Lalu, propinsi dan kabupaten ideal macam manakah yang kita impikan manakala fakta warganya tak kunjung lepas dari derita? Bukankah propinsi dan kabupaten ideal itu apabila warga masyarakatnya mempunyai kemandirian yang kokoh, sehingga ia tidak hanya dipimpin oleh rezim kekuasaan yang memiliki human compassion, akan tetapi juga mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memimpin penguasa negara serta masyarakatnya, dalam arti mendorong dan mengoreksi konstruktif para pemimpinnya untuk menjadi good leaders dan membangun masyarakatnya menuju good society?
Menilik rentetan pertanyaan itu, kita lalu berpikir tentang konsep pembangunan, yang akan selalu dibutuhkan. Yang akan sangat membantu meningkatkan kesadaran dalam menciptakan realitas yang lebih baik. Tanpa konsep, orang akan cenderung bertindak berdasarkan insting semata yang sangat diragukan keobyektivannya dan spekulatif kualitas kebenarannya. Sebaliknya, dengan konsep yang jelas orang akan bertindak berdasarkan logika dan rasionalitas yang tinggi, sehingga tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara lebih baik kepada publik yang hendak dilayaninya. Sebab pemimpin yang baik di mana pun akan senantiasa sanggup mengatasi persoalan rakyatnya.
Itulah relevansinya, mengapa demokrasi elektoral diperlukan agar rakyat cepat atau lambat sanggup memilih orang yang tepat untuk mengatasi problem hidup mereka. Meski, memang, kita pun sadar sesadar-sadarnya, bahwa rezim demokrasi tidak selalu pasti menjamin kebaikan umum. Demokrasi hanyalah satu sistem politik pemerintahan yang jika dibandingkan dengan sistem politik lain, demokrasi relatif lebih menjanjikan. Demokrasi diperlukan agar rakyat boleh dan harus mengoreksi pemimpin-pemimpinnya.
Disadari, semenjak kemunculannya pertama kali kira-kira 5 abad sebelum tarikh Masehi dalam masa Yunani Antik di Kota Athena, demokrasi sudah menimbulkan banyak keraguan. Bukan saja para aristokrat yang merasa terancam kedudukannya oleh adanya sistem yang memungkinkan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga para filosof populis seperti Socrates bahkan cenderung menolaknya. Menurut filosof ini, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan, suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya (Ignas Kleden, dalam: Demokrasi dan Distorsinya: Politik Reformasi di Indonesia, 2004). Tetapi, demokrasi sudah menjadi pilihan sejarah. Pada demokrasi itu pula kita lalu menyimpan harapan. Harapan yang disandarkan kepada proses pembangunan, karena pembangunan memberi kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan di berbagai sektor bagi seluruh lapisan masyarakat.
Namun, realitas menunjuk lain. Realitas yang tampak, kesejahteraan itu hanya berpihak kepada sekelompok masyarakat tertentu yang memperoleh akses terhadap sumber-sumber perekonomian dan kekuasaan. Sedangkan sebagian besar masyarakat masih belum sepenuhnya menikmati hasil dari proses pembangunan itu, malah kerap rakyat malah menjadi korban dari proses pembangunan itu sendiri. Para penulis NTT PF menunjukkan hal itu dengan rinci dan jelas dalam pelukisan mereka tentang postur konstruksi APBD di berbagai daerah yang dianalisisnya (salah satu contoh analisis Frits Nggili tentang APBD Kota Kupang).
Dari Keputusasaan ke Partisipasi Aktif
Mengutip Scott W. Morris (Prisma;1979; pg. 44), tiap masyarakat pada hakekatnya memiliki unsur-unsur untuk memulai suatu human development project. Sudah terbukti, di mana ada masyarakat di sana pula dijumpai kesediaan dan kebutuhan untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial yang kreatif (tulisan anggota NTT PF, Mery Jami, melukiskan hal itu dengan terang).
Prinsip yang dibangun dalam pembangunan masyarakat (khususnya masyarakat desa) ialah to help people to help themselves (menolong masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri). Jadi, tidak sekadar memberikan bantuan (apalagi kalau bantuan itu dikorup oleh imajinasi politik sempit), tetapi juga membuat mereka bisa berdiri sendiri dan memiliki harga diri. Ibaratnya, memberikan alat pancing kepada mereka sehingga dengan alat itu mereka bisa mendapatkan ikan. Dalam pembangunan masyarakat, prinsip ini juga dapat mendorong terwujudnya economic self-sufficiency dan social self dependence.
Pembangunan ekonomi yang efektif di tingkat lokal/desa sekurang-kurangnya harus didasarkan pada beberapa prinsip pokok (ibid). Pertama, masyarakat harus digambarkan sebagai suatu kesatuan ekonomi yang berdiri sendiri yang mengutamakan pengembangan ekonomi. Tanpa pengarahan ini, usaha-usaha pembangunan ekonomi akan mudah terbengkalai. Gambaran sebagaimana dikatakan Scott, merefleksikan kenyataan human being bahwa kemiskinan itu pada dirinya sendiri mengandung potensi revolusi di dalam tubuhnya sendiri untuk mengubah dirinya sendiri. Dengan kata lain, realitas kemiskinan sesungguhnya mengandung protes bahkan menyimpan energi revolusi sosial.
Kedua, usaha untuk meningkatkan peredaran uang ke dalam masyarakat harus direncanakan rinci dan jelas. Ini dilakukan untuk meningkatkan produksi bahan-bahan mentah dan menjual barang-barang ke luar daerah, membuka kesempatan kerja bagi penduduk setempat, berusaha menarik pedagang-pedagang luar ke dalam daerah, mengusahakan pinjaman-pinjaman, berusaha memperoleh dana-dana pemerintah dan bantuan barang-barang.
Ketiga, sebanyak mungkin dana dari luar dimasukkan ke dalam dan dipertahankan selama mungkin dalam masyarakat itu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengusahakan sebanyak mungkin produksi barang-barang konsumsi dan pelayanan-pelayanan, pengembangan industri dan perdagangan setempat serta mempertinggi keterampilan penduduk.
Keempat, dana-dana yang mengalir ke dalam dan telah dipertahankan itu, harus diedarkan secepat mungkin secara kontinyu di dalam kesatuan ekonomi setempat. Hal ini sangat penting dan menentukan, karena uang itu harus beredar terlebih dahulu berkali-kali di dalam masyarakat itu sebelum mengalir ke luar.
Kelima, walaupun masyarakat harus memperkuat sistem perekonomiannya sendiri, usaha mereka pun harus diselaraskan dengan kesatuan ekonomi yang lebih luas, di lingkungan kota, propinsi, negara dan bahkan pada taraf internasional.
Meski kelima hal di atas dilakukan secara tertib, dan katakanlah benar dengan tingkat partisipasi politik yang deliberatif (ex: musrenbang plus), tetapi arah penyelesaian masalah mendasar rakyat desa harus tetap jelas. Bahwa persoalan mendasar mereka adalah pelayanan dasar dan kesejahteraan penduduk. Penduduk melihat urgent dan penting kebutuhan pengawasan penyediaan air, memperbaiki gang-gang (proyek rabat beton di kampung-kampung), jalan dan jembatan, perkenalan penggunaan listrik di tempat umum dan rumah penduduk, mengembangkan sistem angkutan yang memadai. Hal serupa dalam konteks kesejahteraan, yaitu pelayanan kesehatan yang baik bagi semua orang. Sebuah poliklinik hendaknya difungsikan secara efektif dan kalau perlu ada pelayanan gratis untuk bantuan kebidanan. Tidak sebagaimana yang saya temukan di Kabupaten Manggarai enam bulan lalu, misalnya. Gedung puskesmas ada, tetapi pelayan kesehatannya tinggal jauh dari tempat pelayanan kesehatan itu, dan bekerja seturut suka, datang terlambat pulang lebih lekas.
Penduduk desa mengetahui bahwa melalui sistem pemeliharaan sehari-hari mereka akan dapat mengembangkan perhatian dan daya cipta mereka sendiri untuk membangun kembali desanya. Itu berarti, intervensi pembangunan di dan ke desa akan sangat ikut menentukan model partisipasi manusia di desa.
Saya selalu berpandangan bahwa model pembangunan yang diperkenalkan di desa melalui rentetan bantuan ke desa akan ikut menentukan model dan watak partisipasi manusia di desa. Rakyat di desa juga akan segera tahu, apakah model (cara) dan jenis bantuan di desa bermotif politik electoral ataukah bermotif pembebasan manusia dari lilitan kemiskinan. Hal itu ditentukan oleh mekanisme bantuan ke dan di desa, apakah mempraktekkan mekanisme demokratik deliberatif ataukah sekadar penuntunan kekuasaan dalam perpekstif kaum developmentalis yang gemar dipuja dan selalu bias ideologis itu.
Pola dan pertimbangan geografis juga sangat diperlukan mengingat makna luas sempitnya partisipasi rakyat. Jangan-jangan kita sudah menduga ada partisipasi rakyat hanya karena mereka telah hadir pada satu pertemuan di rumah atau kantor kepala desa, tetapi partisipasi yang sesungguhnya yang saya maksudkan di sini ialah kalau rakyat itu datang berkumpul atau mau bersidang karena mereka sendiri ingin menentukan ke arah mana bantuan itu hendak digunakan, dan mereka sendiri hendak merumuskan bagaimana mekanisme pengelolaan bantuan itu. Dengan kata lain, pengelolaan bantuan itu ditentukan oleh kaum 'intelek' kampung (catatan: Hati-hati, makna kata 'intelek' di sini karena tidak serta merta sama dan sebangun dengan orang yang kuliah sampai dapat profesor lalu serta merta kita menduga dia intelek. Menurut saya, ada juga profesor yang sama sekali bukan seorang intelektual, tetapi tukang).
Saya membayangkan, di setiap kampung yang menerima bantuan, rakyat (laki-laki maupun perempuan) mengajukan kepentingan mereka masing-masing dalam perdebatan yang demokratis. Hasil keputusan mereka adalah produk dari mekanisme demokrasi deliberatif yang memungkinkan pudarnya keputusasaan menuju partisipasi yang aktif dan kreatif. Mengapa? Karena mereka semua kemudian menyadari bahwa pembangunan ternyata tidak hanya datang dari atas atau dari depan, tetapi pembangunan datang dari bawah atau dari belakang menuju ke ruang tengah kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Pemerintah tidak lebih tidak kurang dari sekadar pembantu khusus. Untuk ceritera serupa ini, saya sebetulnya punya kisah tentang Porto Alegre di Brasil, tempat dari mana pemain sepak bola handal yang saya suka, Ronaldinho. Kisah Porto Alegre akan saya tulis tahun 2011 sebagai pembelajaran demokratik, karena diharapkan tahun 2011 adalah tahun yang sangat strategis dalam konteks perhitungan politik pembangunan di wilayah ini. *
Aktivis/Anggota NTT Policy Forum
Kita bertanya, apakah kisah duka propinsi ini hanya semacam nasib ataukah semua yang telah, sedang dan mungkin akan terjadi adalah akibat tak terpisahkan dari rentetan kebijakan publik yang menjauh dari akses dan kontrol masyarakat yang hendak diurusnya? Apakah realitas sosial, politik, hukum, budaya, ataupun agama dan lain sebagainya yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya memang harus selalu dilihat secara kontemplatif dan kritis selayaknya sejarah peradaban (history of civilization)? Ataukah kebijakan publik yang selama ini diterapkan sekadar looking back tanpa inovasi dan kreasi, karena para pengambil kebijakan publik gagal mengelola kepentingan umum dan jangan-jangan mereka pun lahir dari konteks masyarakat gizi buruk? Lalu, propinsi dan kabupaten ideal macam manakah yang kita impikan manakala fakta warganya tak kunjung lepas dari derita? Bukankah propinsi dan kabupaten ideal itu apabila warga masyarakatnya mempunyai kemandirian yang kokoh, sehingga ia tidak hanya dipimpin oleh rezim kekuasaan yang memiliki human compassion, akan tetapi juga mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memimpin penguasa negara serta masyarakatnya, dalam arti mendorong dan mengoreksi konstruktif para pemimpinnya untuk menjadi good leaders dan membangun masyarakatnya menuju good society?
Menilik rentetan pertanyaan itu, kita lalu berpikir tentang konsep pembangunan, yang akan selalu dibutuhkan. Yang akan sangat membantu meningkatkan kesadaran dalam menciptakan realitas yang lebih baik. Tanpa konsep, orang akan cenderung bertindak berdasarkan insting semata yang sangat diragukan keobyektivannya dan spekulatif kualitas kebenarannya. Sebaliknya, dengan konsep yang jelas orang akan bertindak berdasarkan logika dan rasionalitas yang tinggi, sehingga tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara lebih baik kepada publik yang hendak dilayaninya. Sebab pemimpin yang baik di mana pun akan senantiasa sanggup mengatasi persoalan rakyatnya.
Itulah relevansinya, mengapa demokrasi elektoral diperlukan agar rakyat cepat atau lambat sanggup memilih orang yang tepat untuk mengatasi problem hidup mereka. Meski, memang, kita pun sadar sesadar-sadarnya, bahwa rezim demokrasi tidak selalu pasti menjamin kebaikan umum. Demokrasi hanyalah satu sistem politik pemerintahan yang jika dibandingkan dengan sistem politik lain, demokrasi relatif lebih menjanjikan. Demokrasi diperlukan agar rakyat boleh dan harus mengoreksi pemimpin-pemimpinnya.
Disadari, semenjak kemunculannya pertama kali kira-kira 5 abad sebelum tarikh Masehi dalam masa Yunani Antik di Kota Athena, demokrasi sudah menimbulkan banyak keraguan. Bukan saja para aristokrat yang merasa terancam kedudukannya oleh adanya sistem yang memungkinkan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga para filosof populis seperti Socrates bahkan cenderung menolaknya. Menurut filosof ini, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan, suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya (Ignas Kleden, dalam: Demokrasi dan Distorsinya: Politik Reformasi di Indonesia, 2004). Tetapi, demokrasi sudah menjadi pilihan sejarah. Pada demokrasi itu pula kita lalu menyimpan harapan. Harapan yang disandarkan kepada proses pembangunan, karena pembangunan memberi kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan di berbagai sektor bagi seluruh lapisan masyarakat.
Namun, realitas menunjuk lain. Realitas yang tampak, kesejahteraan itu hanya berpihak kepada sekelompok masyarakat tertentu yang memperoleh akses terhadap sumber-sumber perekonomian dan kekuasaan. Sedangkan sebagian besar masyarakat masih belum sepenuhnya menikmati hasil dari proses pembangunan itu, malah kerap rakyat malah menjadi korban dari proses pembangunan itu sendiri. Para penulis NTT PF menunjukkan hal itu dengan rinci dan jelas dalam pelukisan mereka tentang postur konstruksi APBD di berbagai daerah yang dianalisisnya (salah satu contoh analisis Frits Nggili tentang APBD Kota Kupang).
Dari Keputusasaan ke Partisipasi Aktif
Mengutip Scott W. Morris (Prisma;1979; pg. 44), tiap masyarakat pada hakekatnya memiliki unsur-unsur untuk memulai suatu human development project. Sudah terbukti, di mana ada masyarakat di sana pula dijumpai kesediaan dan kebutuhan untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial yang kreatif (tulisan anggota NTT PF, Mery Jami, melukiskan hal itu dengan terang).
Prinsip yang dibangun dalam pembangunan masyarakat (khususnya masyarakat desa) ialah to help people to help themselves (menolong masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri). Jadi, tidak sekadar memberikan bantuan (apalagi kalau bantuan itu dikorup oleh imajinasi politik sempit), tetapi juga membuat mereka bisa berdiri sendiri dan memiliki harga diri. Ibaratnya, memberikan alat pancing kepada mereka sehingga dengan alat itu mereka bisa mendapatkan ikan. Dalam pembangunan masyarakat, prinsip ini juga dapat mendorong terwujudnya economic self-sufficiency dan social self dependence.
Pembangunan ekonomi yang efektif di tingkat lokal/desa sekurang-kurangnya harus didasarkan pada beberapa prinsip pokok (ibid). Pertama, masyarakat harus digambarkan sebagai suatu kesatuan ekonomi yang berdiri sendiri yang mengutamakan pengembangan ekonomi. Tanpa pengarahan ini, usaha-usaha pembangunan ekonomi akan mudah terbengkalai. Gambaran sebagaimana dikatakan Scott, merefleksikan kenyataan human being bahwa kemiskinan itu pada dirinya sendiri mengandung potensi revolusi di dalam tubuhnya sendiri untuk mengubah dirinya sendiri. Dengan kata lain, realitas kemiskinan sesungguhnya mengandung protes bahkan menyimpan energi revolusi sosial.
Kedua, usaha untuk meningkatkan peredaran uang ke dalam masyarakat harus direncanakan rinci dan jelas. Ini dilakukan untuk meningkatkan produksi bahan-bahan mentah dan menjual barang-barang ke luar daerah, membuka kesempatan kerja bagi penduduk setempat, berusaha menarik pedagang-pedagang luar ke dalam daerah, mengusahakan pinjaman-pinjaman, berusaha memperoleh dana-dana pemerintah dan bantuan barang-barang.
Ketiga, sebanyak mungkin dana dari luar dimasukkan ke dalam dan dipertahankan selama mungkin dalam masyarakat itu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengusahakan sebanyak mungkin produksi barang-barang konsumsi dan pelayanan-pelayanan, pengembangan industri dan perdagangan setempat serta mempertinggi keterampilan penduduk.
Keempat, dana-dana yang mengalir ke dalam dan telah dipertahankan itu, harus diedarkan secepat mungkin secara kontinyu di dalam kesatuan ekonomi setempat. Hal ini sangat penting dan menentukan, karena uang itu harus beredar terlebih dahulu berkali-kali di dalam masyarakat itu sebelum mengalir ke luar.
Kelima, walaupun masyarakat harus memperkuat sistem perekonomiannya sendiri, usaha mereka pun harus diselaraskan dengan kesatuan ekonomi yang lebih luas, di lingkungan kota, propinsi, negara dan bahkan pada taraf internasional.
Meski kelima hal di atas dilakukan secara tertib, dan katakanlah benar dengan tingkat partisipasi politik yang deliberatif (ex: musrenbang plus), tetapi arah penyelesaian masalah mendasar rakyat desa harus tetap jelas. Bahwa persoalan mendasar mereka adalah pelayanan dasar dan kesejahteraan penduduk. Penduduk melihat urgent dan penting kebutuhan pengawasan penyediaan air, memperbaiki gang-gang (proyek rabat beton di kampung-kampung), jalan dan jembatan, perkenalan penggunaan listrik di tempat umum dan rumah penduduk, mengembangkan sistem angkutan yang memadai. Hal serupa dalam konteks kesejahteraan, yaitu pelayanan kesehatan yang baik bagi semua orang. Sebuah poliklinik hendaknya difungsikan secara efektif dan kalau perlu ada pelayanan gratis untuk bantuan kebidanan. Tidak sebagaimana yang saya temukan di Kabupaten Manggarai enam bulan lalu, misalnya. Gedung puskesmas ada, tetapi pelayan kesehatannya tinggal jauh dari tempat pelayanan kesehatan itu, dan bekerja seturut suka, datang terlambat pulang lebih lekas.
Penduduk desa mengetahui bahwa melalui sistem pemeliharaan sehari-hari mereka akan dapat mengembangkan perhatian dan daya cipta mereka sendiri untuk membangun kembali desanya. Itu berarti, intervensi pembangunan di dan ke desa akan sangat ikut menentukan model partisipasi manusia di desa.
Saya selalu berpandangan bahwa model pembangunan yang diperkenalkan di desa melalui rentetan bantuan ke desa akan ikut menentukan model dan watak partisipasi manusia di desa. Rakyat di desa juga akan segera tahu, apakah model (cara) dan jenis bantuan di desa bermotif politik electoral ataukah bermotif pembebasan manusia dari lilitan kemiskinan. Hal itu ditentukan oleh mekanisme bantuan ke dan di desa, apakah mempraktekkan mekanisme demokratik deliberatif ataukah sekadar penuntunan kekuasaan dalam perpekstif kaum developmentalis yang gemar dipuja dan selalu bias ideologis itu.
Pola dan pertimbangan geografis juga sangat diperlukan mengingat makna luas sempitnya partisipasi rakyat. Jangan-jangan kita sudah menduga ada partisipasi rakyat hanya karena mereka telah hadir pada satu pertemuan di rumah atau kantor kepala desa, tetapi partisipasi yang sesungguhnya yang saya maksudkan di sini ialah kalau rakyat itu datang berkumpul atau mau bersidang karena mereka sendiri ingin menentukan ke arah mana bantuan itu hendak digunakan, dan mereka sendiri hendak merumuskan bagaimana mekanisme pengelolaan bantuan itu. Dengan kata lain, pengelolaan bantuan itu ditentukan oleh kaum 'intelek' kampung (catatan: Hati-hati, makna kata 'intelek' di sini karena tidak serta merta sama dan sebangun dengan orang yang kuliah sampai dapat profesor lalu serta merta kita menduga dia intelek. Menurut saya, ada juga profesor yang sama sekali bukan seorang intelektual, tetapi tukang).
Saya membayangkan, di setiap kampung yang menerima bantuan, rakyat (laki-laki maupun perempuan) mengajukan kepentingan mereka masing-masing dalam perdebatan yang demokratis. Hasil keputusan mereka adalah produk dari mekanisme demokrasi deliberatif yang memungkinkan pudarnya keputusasaan menuju partisipasi yang aktif dan kreatif. Mengapa? Karena mereka semua kemudian menyadari bahwa pembangunan ternyata tidak hanya datang dari atas atau dari depan, tetapi pembangunan datang dari bawah atau dari belakang menuju ke ruang tengah kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Pemerintah tidak lebih tidak kurang dari sekadar pembantu khusus. Untuk ceritera serupa ini, saya sebetulnya punya kisah tentang Porto Alegre di Brasil, tempat dari mana pemain sepak bola handal yang saya suka, Ronaldinho. Kisah Porto Alegre akan saya tulis tahun 2011 sebagai pembelajaran demokratik, karena diharapkan tahun 2011 adalah tahun yang sangat strategis dalam konteks perhitungan politik pembangunan di wilayah ini. *
Aktivis/Anggota NTT Policy Forum
0 komentar:
Posting Komentar
"Silahkan Tulis Yang Ada dalam Kepala Anda"