Rabu, 19 Januari 2011

Runtuhnya Moralitas dan Etika Politik; Menonton Teater Politik Kota Kupang

Oleh Wilson MA Therik

Pos Kupang, Senin, 17 Januari 2011 | 07:31 WIB
 
MAX Weber menulis, politisi atau politikus itu harus menyadari bahwa politik ist Beruf und Berufung. Artinya, politik adalah tugas jabatan dan panggilan hidup. Dan karena sebagai panggilan hidup, maka seorang politisi atau politikus harus melakoninya secara penuh tanggung jawab, dengan berjalan di atas patokan moral dan etika politik serta hukum dan aturan-aturan lainnya. Itu merupakan suatu tuntutan fundamental perilaku manusia-politikus sebagai makhluk ciptaan yang mahakuasa, terutama sebagai pemimpin dalam pemerintahan baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Sering para pengamat politik mengatakan "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara? Inilah yang dipertotonkan oleh DPRD Kota Kupang dan Pemerintah Kota Kupang terkait dengan pembahasan RAPBD Kota Kupang Tahun 2011 yang berawal dari dipangkasnya sejumlah pos anggaran dalam RAPBD di antaranya dana perjalanan dinas serta dana acara seremonial walikota dan wakil walikota senilai Rp 33 miliar. Pos anggaran tersebut dipangkas DPRD dan sebaliknya sejumlah usulan DPRD ditolak Pemerintah Kota Kupang. Di antaranya agar Pemerintah Kota Kupang memperbesar target perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menaikkan retribusi hotel dan restoran.

Puncak dari perseteruan antara DPRD Kota Kupang dan Pemerintah Kota Kupang adalah Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, mengeluarkan permohonan pengesahan Peraturan Walikota untuk penetapan RAPBD Kota Kupang Tahun 2011 (yang menggunakan APBD Tahun 2010). Kemudian Pemerintah Kota Kupang melalui kuasa hukumnya Henhani Nggebu, S.H melaporkan Viktor Lerik, S.E ke pihak kepolisian dalam kapasitas sebagai Ketua DPRD Kota Kupang maupun sebagai pribadi dengan tuduhan pencemaran dan pemfitnahan terhadap Pemerintah Kota Kupang. Dan pasca dilaporkannya Ketua DPRD Kota Kupang ke kepolisian, 21 anggota DPRD Kota Kupang melayangkan mosi tidak percaya kepada ketua mereka.

Pentingnya Moral  dan Etika Politik
Sampai pada titik ini, kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukankah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas.

Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.

Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja. Celakanya adalah para politisi kita tampaknya tidak paham apa itu etika politik.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa moral dan etika politik menjadi tuntutan utama bagi para politikus, khususnya para pemimpin? Herbert Hoover, presiden ke-13 Amerika Serikat mengatakan: When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are poised (moralitas seluruh bangsa akan teracuni, jika tidak ada martabat dalam pemerintahan). Artinya, martabat dan harga diri merupakan segala-galanya untuk efektivitas karya sebuah pemerintahan. Martabat dan harga diri itu hanya bisa dipelihara tatkala para pemimpin atau penyelenggara negara berpikir, bertutur kata dan bertindak dengan terhormat pula. Berarti, dalam berperilaku, seorang pemimpin harus berjalan dalam bungkusan moral, etika dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Itu pula merupakan tuntutan utama dalam etika dan moral politik, yaitu hidup baik bersama dan untuk orang lain; saling menghargai, menghormati, bukan melukai, mencederai, dan mengecewakan. Integritas yang tinggi sangat dituntut dari seorang politikus, apalagi pemimpin. Jadi, para politikus atau pemimpin yang menjalankan etika politik-sebagai panggilan hidup, harus memiliki keutamaan-keutamaan moral. Sekali melenceng dari keutamaan moral, maka robohlah moralitas sang pemimpin atau sang politikus. Kondisi ini yang tampak dilakoni oleh Ketua DPRD Kota Kupang Viktor Lerik, S.E di mana harus berhadapan dengan kepolisian atas laporan Pemerintah Kota Kupang dan juga berhadapan dengan 21 anggota DPRD Kota Kupang yang tidak lagi percaya padanya.

Ciri Khas Etika Politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan. Pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan; ketiga, membangun institusi-institusi yang adil.

Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warga negara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait juga dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.

Belajarlah pada Socrates
Socrates adalah filsuf klasik yang kerap dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran, kesantunan dan integritas moral yang tinggi dalam membela kebenaran dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Politik lalu dimengerti sebagai seni yang bermuatan kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan dan integritas moral yang disandang politikus. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para politisi dan diakui oleh masyarakat sebagai obyek implementasi praksis politik.

Di samping itu, Socrates juga, dengan keutamaan-keutamaan moral yang dimilikinya, ia mendidik dan mengarahkan "murid-murid"-nya yang terdiri dari anak-anak muda untuk berpikir kritis dalam menghadapi segala realitas yang ada dalam masyarakat. Sehingga, dengan integritas moral yang tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai, orang muda diharapkan dapat terlibat dalam memecahkan berbagai persoalan kemasyarakatan.

Dari pandangan Socrates di atas, maka sudah sepatutnya kalangan DPRD Kota Kupang dan Pemerintah Kota Kupang menjaga dan meningkatkan citra, norma, martabat, harga diri dan kehormatan lembaganya sebagai lembaga yang terhormat yang sudah runtuh belakangan ini, lewat pelaksanaan etika dan moralitas secara serius. Sebab secara normatif, etika dan moralitas diwajibkan bagi setiap manusia, apalagi bagi para pemimpin masyarakat.

Artinya, etika dan moralitas merupakan prinsip yang harus dijalankan tanpa tawar-menawar bagi lembaga pemerintahan seperti para wakil rakyat yang meniti panggilan hidup sebagai seorang politikus yang mengemban tugas mulia, yaitu memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Kemelut antara DPRD Kota Kupang dan Pemerintah Kota Kupang saat ini hendaknya dijadikan pelajaran bagi rakyat Kota Kupang agar pada pemilu kada dan pemilu legislatif yang akan datang jangan lagi memilih politisi yang tidak punya moral dan tidak paham etika politik. *

Anggota NTT Policy Forum

Benang Kusut APBD Kota Kupang

Oleh Fary Dj Francis
Pos Kupang, Jumat, 14 Januari 2011 | 00:32 WIB
 
BEBERAPA pekan terakhir ini masyarakat Kota Kupang mendapat tontonan yang tidak elok dengan mencuatnya konflik Pemkot versus DPRD Kota Kupang. Awalnya saya memandang hal itu sebagai dinamika demokrasi yang membawa kedua institusi tersebut ke tingkat pemahaman dan kematangan yang setara dalam peran dan tanggung jawab masing-masing. Namun saya mulai memperhatikannya secara serius ketika bertemu dengan Bung Iso (Isidorus Lilijawa, salah seorang anggota DPRD Kota Kupang) pada tanggal 4 Januari lalu di sebuah lesehan jagung bakar Jalan El Tari. Kami menghabiskan waktu sampai pukul sebelas malam mempercakapkan kemelut pembahasan APBD Kota Kupang 2011, yang menurut hemat saya, telah semakin meruncing dan berpotensi merugikan rakyat Kota Kupang.

Terlebih lagi, di tengah kemelut tersebut, Bung Iso sendiri merasa mulai diintimidasi. Tanggal 4 Januari 2011 subuh, atap rumahnya terkena lemparan batu beberapa kali, dan pagi harinya, dia menemukan mobil dinasnya di garasi tergores bebatuan. Meskipun demikian dia masih berpikir positif dan menganggap kejadian itu hanyalah ulah iseng orang mabuk. Keanehan mulai masuk dalam analisis saya ketika pada tanggal 5 Januari 2011, saya diberitahu Bung Iso bahwa pelemparan mobilnya terulang lagi pada dinihari tadi, dan memecahkan kaca belakang.  Orang ini dikenal kritis 'membaca'  arah pembangunan kota baik di kalangan Dewan sendiri maupun mitra kerjanya di pemkot.

Saya akhirnya menyimpulkan bahwa konflik yang saya anggap sebagai dinamika ternyata tidak didukung oleh fakta empirik. Karena itu saya coba mengulasnya dari sudut pandang kemanfaatan dan kemaslahatannya bagi rakyat Kota Kupang. 


Menduga-duga Penyebab Konflik
Media massa memberitakan bahwa konflik dipicu oleh tindakan Dewan yang memangkas 14  item rencana anggaran yang diajukan Pemkot Kupang dengan nilai sekitar Rp 20 miliar.  Buntutnya, Pemkot Kupang memboikot sidang pembahasan APBD. Lantas, keduanya kemudian melakukan konsultasi ke Gubernur NTT.  Melalui suratnya, Pemkot mengajukan permohonan kepada gubernur untuk mengesahkan Peraturan Walikota agar menggunakan APBD 2010 sebagai referensi untuk tahun 2011. Dan Gubernur melalui surat No. 901/KU/14/AK/2011, tanggal 4 Januari 2011 menegaskan agar pembahasan dilanjutkan.

Maka, berbagai komentar, yang pro maupun kontra bermunculan. Yang kontra beralasan bahwa situasi kebutuhan di 2011 sudah pasti berbeda dengan 2010 dan karena itu APBD-nya pun berbeda. Meskipun demikian, baik kelompok pro maupun kontra sama-sama berharap agar Dewan dan pemkot mau mengkaji substansi programnya, apakah sudah pro rakyat? (Pos Kupang Kamis 6/1/2011). 

Berkaca pada pengalaman dari konflik serupa di negeri ini, kebanyakan konflik terjadi karena rebutan 'kue APBD' yang diperparah lagi oleh ketidakpahaman mengenai kewenangan masing-masing dalam soal anggaran. Fungsi penganggaran merupakan salah satu fungsi utama Dewan. Namun demikian, Dewan harus memahami fungsi penganggaran pemda/kota, termasuk dasar dan tingkat kerja penganggarannya, sehingga ketidaksamaan persepsi fungsional tersebut dapat diminimalis.

Tujuan pengawasan Dewan dan pemda/kota di bidang penganggaran juga berbeda. Bagi pemda/kota, APBD secara fungsional merupakan instrumen pemenuhan tanggung jawab kontrak sosialnya terhadap rakyat, sebagai implikasi logis dari sistim pemilihan langsung. Sementara fungsi penganggaran dan pengawasan Dewan lebih bernuansa politis di mana setiap pilihan program dan atau kegiatan yang disetujui dalam APBD harus memperhatikan preferensi para pemilih (voters)-nya.

Implementasi fungsi penganggaran dalam penyusunan APBD telah mempertemukan ranah kewenangan antara Dewan dan pemda/kota, meskipun ada aspek tertentu yang seringkali berada di wilayah abu-abu. Akibatnya, kedua lembaga pemerintahan di daerah tersebut terjebak pada kebiasaan saling lempar tanggung jawab, berebut kewenangan atau bersama-sama menyepakati suatu penyimpangan (perselingkuhan eksekutif dan legislatif).

Sejumlah penyebab yang seringkali mengakibatkan moral hazard (yang terjadi karena memang ada maksud-maksud tertentu yang kurang baik), pada saat pembahasan APBD antara Dewan dan pemda/kota antara lain: (1) Pemda/kota terlambat menyampaikan RAPBD sehingga Dewan mengalami kesulitan menilai dan mengkritisi semua usulan; (2) RAPBD yang diusulkan menggunakan acuan 'minimal dalam penerimaan dan maksimal dalam pengeluaran'. Akibatnya, potensi penerimaan tidak tergali dengan baik, sebab jumlah penerimaan dibuat under target, sementara alokasi belanja disusun penuh dengan nilai mark up; (3) Satuan kerja yang mengusulkan anggaran lebih banyak berorientasi proyek daripada hasil. Akibatnya, usulan-usulan kegiatan antarsatuan kerja saling tumpang tindih,  terjadi duplikasi anggaran, bahkan manipulasi kegiatan rutin menjadi proyek yang tidak ada manfaatnya bagi masyarakat.

Dari pihak Dewan; (1) Karena 'pedang' persetujuan ada di tangannya, banyak satuan kerja yang mencoba langsung melakukan pendekatan kepada Dewan. Akibatnya sistem dan mekanisme penyusunan anggaran rusak; (2) Di lingkungan Dewan sendiri sering mengemuka kepentingan pribadi, kelompok atau golongan yang dijadikan dasar untuk mengambil keputusan. Karena itu terjadi pembusukan dan perusakan sistem maupun mekanisme pengambilan keputusan. Ketika usulan dari Dewan tidak diakomodasi terjadilah penolakan atas usulan satker; (3) Kemauan dan kemampuan alat kelengkapan Dewan untuk belajar budget policy (yang menjadi tugas pokoknya dalam penganggaran) secara mendalam dan menyeluruh masih relatif rendah dan belum merata sehingga banyak kejahatan anggaran yang tidak terlihat dengan jeli, lolos dalam usulan. Dari serangkaian kemungkinan di atas, faktor manakah yang kiranya melatarbelakangi konflik pembahasan APBD di Kota Kupang?

Sesungguhnya kalau Dewan dan Pemkot Kupang mau melihat secara jernih substansinya, maka pembahasan APBD tidak harus berlarut-larut dan berpotensi merugikan rakyat. Bila pemangkasan 14 item itu yang memicu boikot dari pemkot, perlu dicermati mengapa pemangkasan itu dilakukan?  Mengapa pemkot getol memperjuangkannya? Apakah secara substansif 14 item tersebut untuk kepentingan rakyat? Pertanyaan ini membantu kita untuk mencari solusi yang tepat atas konflik tadi.

Penolakan legislatif terhadap KUA 2011 tidak terkait dengan benar atau salah. Karena proses penyusunan APBD adalah domain politik, bukan teknis. Jika RPJM adalah kerangka konseptual, maka KUA adalah kerangka operasionalnya. Apa yang akan dianggarkan harus dijelaskan dulu kebijakannya dalam KUA. Kebijakannya sendiri harus didasarkan pada permasalahan yang ada pada masyarakat. Bukankah sasaran dan target program/kegiatan dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi rakyat?

Nuansa politis sangat terasa dalam konflik yang semakin memanas ini. Padahal APBD 2011 disusun untuk mengatasi permasalahan yang ada dan harus diselesaikan pada 2011. Karena itu KUA 2011 harus direvisi total jika tidak menjelaskan asumsi dan permasalahan yang berkembang saat ini. Sampai kapan pun, APBD 2011 akan bermasalah karena tidak ada masalah yang hendak dipecahkan melalui sasaran dan target yang ada di KUA 2011 tersebut.

Menurut hemat saya, belajar bersama dapat menjadi alternatif solusi. Karena kita tahu, masing-masing pihak punya kepentingan berbeda terhadap APBD, berkaitan dengan 'bagi-bagi uang' dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jika selama ini eksekutif mendapatkan banyak peluang mengikuti pelatihan, workshop, bimbingan teknis, maupun pendampingan teknis dalam pengelolaan keuangan daerah, alangkah baiknya legislatif juga diikutsertakan, karena kesetaraan dalam pemahaman dan pengetahuan di antara keduanya akan menciptakan proses checks and balances yang baik.

Di atas segalanya, sikap jujur dan transparan yang dilandasi niat baik dari Dewan dan pemkot untuk menjalankan amanat rakyat hendaklah menjadi titik temu untuk menyelesaikan konflik ini. Artinya pemkot harus bersedia mengungkapkan dengan jujur berapa sebenarnya potensi penerimaan yang ada, dialokasikan untuk apa saja, bagaimana manfaatnya bagi masyarakat, bagaimana indikator kinerja untuk mengukur keberhasilan kegiatan, apakah sudah diperhitungkan secara ekonomis, adakah usaha untuk melakukan penghematan.

Dewan juga diharapkan dapat menghargai prioritas yang dipilih pemkot. Karena pemkot pasti mengacu pada visi dan misinya dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika pemkot dapat mempresentasikan program-program yang menjadi prioritas dan anggaran yang perlu dipertahankan serta Dewan dapat terbuka melihat kepentingan rakyat yang menjadi prioritas pemkot, maka masalah ini dapat teratasi dan dengan demikian benang kusut APBD 2011 ini segera terurai dengan rakyat sebagai pemenang. *

Anggota Badan Anggaran DPR RI

Kamis, 13 Januari 2011

Roma Locuta, Causa Finita

Catatan atas Kekisruhan DPRD-Pemerintah Kota Kupang
Oleh Alex Ofong, Aktivis, Warga Liliba, Kota Kupang
Pos Kupang,Rabu, 12 Januari 2011 | 23:05 WIB

PENGUJUNG tahun 2010, kita dikejutkan dengan berita yang dilansir media massa tentang kekisruhan antara DPRD dan Pemerintah Kota Kupang. Kekisruhan itu masih berlangsung, memasuki tahun 2011, sampai sekarang. Entah sampai kapan berakhirnya, masih dalam tanda tanya besar(?)! Banyak pihak memprediksi, kekisruhan ini bakal berlarut pasca pemkot memboikot sidang APBD 2011 dan tetap bergeming menggunakan APBD 2010 untuk APBD 2011 melalui Peraturan Walikota. Kalau ini terjadi, maka patut disesalkan! Rakyat Kota Kupang harus marah! Bahkan dibolehkan marah!

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memprovokasi agar rakyat harus marah, tetapi berusaha memposisikan persoalan kekisruhan ini pada wacana politik untuk didiskusikan, mungkin ada sumbang pikiran setelah ini untuk mencari pemecahan agar rakyat tidak harus marah!

Kita mulai dari melihat ulang fakta yang terjadi berdasarkan hasil investigasi sederhana saya melalui diskusi lepas dengan beberapa pejabat di pemkot, teman-teman di DPRD, pegawai sekretariat DPRD, dan melalui penelusuran beberapa dokumen terkait.
                    ***
Sidang III DPRD Kota Kupang Tahun 2010, yang salah satu agendanya membahas RAPBD 2011, sejak awal sudah ada tanda-tanda disharmoni  antara DPRD dan Pemerintah Kota Kupang. Badan Musyarawah (Banmus) DPRD Kota Kupang 'dipaksa' 3 sampai 4 kali menggelar rapat perubahan agenda dan jadwal sidang, karena berjalan seret dan molor dari jadwal yang sudah diagendakan sebelumnya. Pemkot Kupang yang tidak siap dengan data-data yang memuaskan anggota DPRD di satu sisi, memang patut disesalkan! Tetapi DPRD yang lekas menghentikan sidang, di sisi lain, dan membiarkan waktu berlalu sambil menunggu pemerintah melengkapi data, padahal ini adalah ruang pembahasan bersama, juga patut disayangkan!

Situasi disharmoni menajam mencapai kisruh ketika memasuki tahapan pembahasan dalam Badan Anggaran, yang menurut perubahan terakhir jadwal sidang (SK DPRD No. 58/DPRD/KK/2010), dimulai tanggal 17 Desember 2010. Sebagaimana lazim, pembahasan dalam Badan Anggaran, dimulai dengan membahas pendapatan,  termasuk tentang PAD.  Oleh DPRD target PAD tahun 2011 didongkrak naik 39,57 % dari Rp 41,6 miliar menjadi Rp 58,08 miliar. Kenaikan ini dinilai pemkot tidak realistis dan bakal memberatkan rakyat; apalagi dinaikkan sepihak hanya oleh 'ketukan palu Ketua Badan Anggaran DPRD Kota Kupang tanpa alasan  memadai'. 

Pada pembahasan tentang belanja (pada hari ketiga Sidang Badan Anggaran DPRD, 20 Desember 2010), banyak item,  terutama bagian sekretariat daerah, termasuk pos kepala daerah,  dipangkas oleh Ketua Badan Anggaran hanya dengan ketukan palu tanpa memberikan kesempatan kepada pemkot untuk menjelaskan. Hak suara anggota Badan Anggaran DPRD pun dipangkas. Anggota Badan Anggaran tidak diperkenankan bersuara, kendati ada yang hendak bersuara.

Kondisi ini memicu pemkot  memboikot sidang melalui surat tertanggal 21 Desember 2010 Nomor: Keu.910/144/2010 perihal Penolakan Pembahasan APBD Tahun Anggaran 2011. Sidang dinilai berlangsung sangat tidak etis, tidak demokratis, tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang diamanatkan sejumlah peraturan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah dan tata cara pembahasannya; bahkan Tata Tertib DPRD pun ditabrak!

Pasca peristiwa ini, komunikasi  'DPRD - Pemkot' hanya melalui surat. Lebih tepat, saling balas membalas surat. Tercatat: ada tiga kali surat undangan yang dikeluarkan Ketua DPRD Kota Kupang kepada pemkot untuk melanjutkan sidang pembahasan anggaran (Nomor: DPRD.170/648/KK/2010;
DPRD.170/650/KK/2010; DPRD.170/663/KK/2010). Tiga kali juga surat pemkot perihal pemberitahuan menanggapi surat Ketua DPRD, yang pada surat ketiga dengan Nomor: Keu.910/147/2010, 27 Desember 2010, pemkot memberitahukan kepada DPRD bahwa 'berdasarkan  kewenangan sesuai Permendagri Nomor 37/2010 Walikota akan menetapkan APBD Kota Kupang Tahun Anggaran 2011 dengan Peraturan Walikota'. Dengan sisa waktu yang sangat terbatas, pemkot memastikan sidang bakal molor melewati batas waktu sesuai ketentuan yang berlaku, dan dikhawatirkan berdampak negatif berupa penilaian tata kelola keuangan daerah dan pemotongan DAU sebesar 25 % sesuai amanat Ban II, pasal 7, 8, 9 Permenkeu Nomor: 46/PMK.02/2006. Apabila ini terjadi, maka akan sangat merugikan kepentingan rakyat dan daerah Kota Kupang.

Pemerintah Kota Kupang, sampai dengan saat ini, tetap  bergeming menggunakan Peraturan Walikota sebagai payung hukum APBD 2011 dengan merujuk pada APBD 2010, kendati ada imbauan dari Pemerintah Provinsi NTT untuk melanjutkan kembali pembahasan dengan DPRD Kota Kupang. Sementara sikap DPRD sendiri tampak gamang, paling tidak tergambar dari surat-surat yang dikeluarkan baik atas nama fraksi (Demokrat, PDIP, Gerindra), atas nama Partai (PAN, PPP, Patriot), maupun atas nama anggota DPRD (A Botha Hayon). Di satu sisi, ada sikap yang hampir seragam membenarkan fakta ketidaketisan, ketidakdemokratisan, ketidaksesuaian prosedur dan mekanisme pembahasan yang ditunjukkan Ketua Badan Anggaran DPRD; namun di sisi lain mengharapkan kelanjutan sidang pembahasan anggaran sesuai dengan prosedur dan mekanisme; bahkan ada yang menyetujui sikap pemkot menggunakan anggaran 2010.
                    ***
Fakta yang terpapar di atas, bila dicermati saksama, mengingatkan kita pada dan serentak menghidupkan kembali semboyan 'Roma Locuta, Causa Finita' (Roma Bicara, Habis Perkara) yang didengungkan para Kaiser Roma terhadap koloni-koloninya. Semboyan ini memang kemudian dijadikan peribahasa sebagai sebuah kritik pada saat Gereja Katolik sangat sentralistis  (segala perkara hanya diselesaikan oleh 'apa kata Paus di Roma'); namun dalam perkembangan digunakan untuk melukiskan arogansi kekuasaan yang hanya mau didengarkan dan tidak mau mendengarkan! Karena itu, tepat juga untuk melukiskan 'kekisruhan' DPRD dan Pemerintah Kota Kupang ini, saat ini. Kisruh Pemkot-DPRD, hemat saya,  justru berakar di sini!

Sikap Ketua Badan Anggaran yang tidak memberikan kepada pemkot kesempatan untuk menjelaskan posisi mereka terkait dengan alokasi anggaran yang diajukan seakan menghadirkan kembali sosok kaiser-kaiser Roma yang cuma bersabda, maka habislah perkara. Tidak ada lagi ruang untuk dialog. Yang terjadi hanya monolog.

Sikap ini memang patut disesalkan! Namun, sayangnya, kekecewaan atas monolog (ketiadaan dialog) ditunjukkan dengan sikap serupa. Ketiadaan dialog dilawan dengan tanpa dialog. Ruang dialog dikunci juga oleh pemkot. Ketegaran sikap tanpa membuka ruang dialog pun seolah mengiangkan kembali 'Roma Locuta, Causa Finita'. Pratanda matinya dialog.

Padahal dalam kehidupan politik, dialog niscaya merupakan persyaratan minimum untuk suatu politik yang demokratis.  Dialog dibutuhkan untuk mengarahkan kita mendekati 'kebenaran'. Menyitir Karl Poper, filosof Inggris yang banyak dikenal di Indonesia, kebenaran adalah produk sosial, bukan produk perorangan, karena membutuhkan pengujian, dan pengujian hanya dimungkinkan dalam dialog dengan orang lain. Dalam dialog, sebuah pendapat diuji melalui falsifikasi radikal sebagai pendapat yang layak dipertahankan atau dibuang - karena jauh dari kebenaran. Pengujian dalam dialog ini penting, mengingat setiap manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk membenarkan pendapatnya sendiri.

Ruang dialog - yang ditutup oleh Ketua Badan Anggaran ketika memimpin sidang Badan Anggaran dan tetap bergemingnya pemkot -  menunjukkan fakta kegagalan demokrasi. Karena praktik demokrasi jelas menuntut adanya dialog;  menuntut adanya situasi yang mengharuskan et altera pars audiatur  (pihak lain patut didengarkan pendapatnya)!

Gagalnya demokasi akibat kecenderungan menggunakan monolog yang serentak mematikan dialog adalah bahaya besar dalam praksis politik pengelolaan kekuasaan, karena rakyat sebagai subyek demokrasi bakal menerima dampak buruknya, yaitu lilitan kemiskinan.

Terlalu jauh memang untuk menarik benang merah fakta ini sampai menyentuh kemiskinan yang melilit rakyat Kota Kupang. Tetapi sebagai sebuah wacana politik di alam demokrasi, ini penting untuk dikemukakan. Karena, pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi, Amartya Sen, mensinyalir bahwa kemiskinan adalah akibat dari the failure of democracy (kegagalan demokrasi)!

Matinya dialog antara DPRD-Pemerintah Kota Kupang serta terkuncinya ruang dialog dengan rakyat Kota Kupang, yang sedang terjadi sekarang ini, adalah sebuah fakta politik yang harus disadari dan diambil sikap antisipatoris. Apalagi ini terkait dengan APBD! Klaim 'pro rakyat' yang menjadi alasan DPRD mendongkrak PAD dan memangkas usulan belanja pemkot, perlu diuji melalui dialog. Pun pula, demi 'kepentingan rakyat' sebagai alasan pemkot memboikot sidang dan bergeming menggunakan APBD 2010, pun harus diuji melalui dialog. Siapa dapat menjamin 'klaim pro rakyat' dan 'argumentasi demi kepentingan rakyat' itu benar, tanpa dialog sebagai basis akuntabilitas public - yang mengandaikan dua hal sekaligus: transparansi dan kesediaan untuk diuji publik?

Mesti ada sikap bijak menyelesaikan 'kekisruhan' ini. Biarlah 'Roma Locuta, Causa Finita' tewas ditebas pedang dewa kronos. Hidupkan kembali dialog DPRD- Pemkot; bukalah ruang dialog dengan rakyat Kota Kupang, demi praksis demokrasi dan kesejatian politik sebagai ikhtiar mensejahterakan rakyat Kota Kupang. Pasti bisa!*

Menghitung Ulang Pilihan Rakyat

Oleh Pius Rengka
Pos Kupang, Jumat, 7 Januari 2011 | 00:01 WIB
NTT, sebuah negeri nun jauh di ufuk selatan Republik Indonesia. Propinsi ini tak pernah asing dari kisah keterbelakangan, kemiskinan dan korupsi. Bahkan sejak pertama kali daerah ini berdiri sebagai propinsi, sejak itu pulalah kisah tragis dimulai. Anak-anak kampung, ibu rumah tangga, gamang menghadapi tanggung jawab hidup, karena tak pupus dari duri derita. Maka, tampak kasat mata, seolah kerangka tulang berdaging tipis yang enggan remuk dimakan musim bergerak dengan ritme yang mengerikan.

Kita bertanya, apakah kisah duka propinsi ini hanya semacam nasib ataukah semua yang telah, sedang dan mungkin akan terjadi adalah akibat tak terpisahkan dari rentetan kebijakan publik yang menjauh dari akses dan kontrol masyarakat yang hendak diurusnya? Apakah realitas sosial, politik, hukum, budaya, ataupun agama dan lain sebagainya yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya memang harus selalu dilihat secara kontemplatif dan kritis selayaknya sejarah peradaban (history of civilization)? Ataukah kebijakan publik yang selama ini diterapkan sekadar looking back tanpa inovasi dan kreasi, karena para pengambil kebijakan publik gagal mengelola kepentingan umum dan jangan-jangan mereka pun lahir dari konteks masyarakat gizi buruk? Lalu, propinsi dan kabupaten ideal macam manakah yang kita impikan manakala fakta warganya tak kunjung lepas dari derita? Bukankah propinsi dan kabupaten ideal itu apabila warga masyarakatnya mempunyai kemandirian yang kokoh, sehingga ia tidak hanya dipimpin oleh rezim kekuasaan yang memiliki human compassion, akan tetapi juga mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memimpin penguasa negara serta masyarakatnya, dalam arti mendorong dan mengoreksi konstruktif para pemimpinnya untuk menjadi good leaders dan membangun masyarakatnya menuju good society?

Menilik rentetan pertanyaan itu, kita lalu berpikir tentang konsep pembangunan, yang akan selalu dibutuhkan. Yang akan sangat membantu meningkatkan kesadaran dalam menciptakan realitas yang lebih baik. Tanpa konsep, orang akan cenderung bertindak berdasarkan insting semata yang sangat diragukan keobyektivannya dan spekulatif kualitas kebenarannya. Sebaliknya, dengan konsep yang jelas orang akan bertindak berdasarkan logika dan rasionalitas yang tinggi, sehingga tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara lebih baik kepada publik yang hendak dilayaninya. Sebab pemimpin yang baik di mana pun akan senantiasa sanggup mengatasi persoalan rakyatnya.
Itulah relevansinya, mengapa demokrasi elektoral diperlukan agar rakyat cepat atau lambat sanggup memilih orang yang tepat untuk mengatasi problem hidup mereka. Meski, memang,  kita pun sadar sesadar-sadarnya, bahwa rezim demokrasi tidak selalu pasti menjamin kebaikan umum. Demokrasi hanyalah satu sistem politik pemerintahan yang jika dibandingkan dengan sistem politik lain, demokrasi relatif lebih menjanjikan. Demokrasi diperlukan agar rakyat boleh dan harus mengoreksi pemimpin-pemimpinnya.

Disadari, semenjak kemunculannya pertama kali kira-kira 5 abad sebelum tarikh Masehi dalam masa Yunani Antik di Kota Athena, demokrasi sudah menimbulkan banyak keraguan. Bukan saja para aristokrat yang merasa terancam kedudukannya oleh adanya sistem yang memungkinkan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga para filosof populis seperti Socrates bahkan cenderung menolaknya. Menurut filosof ini, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan, suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya (Ignas Kleden, dalam: Demokrasi dan Distorsinya: Politik Reformasi di Indonesia, 2004). Tetapi, demokrasi sudah menjadi pilihan sejarah. Pada demokrasi itu pula kita lalu menyimpan harapan. Harapan yang disandarkan kepada proses pembangunan, karena pembangunan memberi kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan di berbagai sektor bagi seluruh lapisan masyarakat.
Namun, realitas menunjuk lain. Realitas yang tampak, kesejahteraan itu hanya berpihak kepada sekelompok masyarakat tertentu yang memperoleh akses terhadap sumber-sumber perekonomian dan kekuasaan. Sedangkan sebagian besar masyarakat masih belum sepenuhnya menikmati hasil dari proses pembangunan itu, malah kerap rakyat malah menjadi korban dari proses pembangunan itu sendiri. Para penulis NTT PF menunjukkan hal itu dengan rinci dan jelas dalam pelukisan mereka tentang postur konstruksi APBD di berbagai daerah yang dianalisisnya (salah satu contoh analisis Frits Nggili tentang APBD Kota Kupang).

Dari Keputusasaan  ke Partisipasi Aktif
Mengutip Scott W. Morris (Prisma;1979; pg. 44), tiap masyarakat pada hakekatnya memiliki unsur-unsur untuk memulai suatu human development project. Sudah terbukti, di mana ada masyarakat di sana pula dijumpai kesediaan dan kebutuhan untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial yang kreatif (tulisan anggota NTT PF, Mery Jami, melukiskan hal itu dengan terang).
Prinsip yang dibangun dalam pembangunan masyarakat (khususnya masyarakat desa) ialah to help people to help themselves (menolong masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri). Jadi, tidak sekadar memberikan bantuan (apalagi kalau bantuan itu dikorup oleh imajinasi politik sempit), tetapi juga membuat mereka bisa berdiri sendiri dan memiliki harga diri. Ibaratnya, memberikan alat pancing kepada mereka sehingga dengan alat itu mereka bisa mendapatkan ikan. Dalam pembangunan masyarakat, prinsip ini juga dapat mendorong terwujudnya economic self-sufficiency dan social self dependence.

Pembangunan ekonomi yang efektif di tingkat lokal/desa sekurang-kurangnya harus didasarkan pada beberapa prinsip pokok (ibid). Pertama, masyarakat harus digambarkan sebagai suatu kesatuan ekonomi yang berdiri sendiri yang mengutamakan pengembangan ekonomi. Tanpa pengarahan ini, usaha-usaha pembangunan ekonomi akan mudah terbengkalai. Gambaran sebagaimana dikatakan Scott, merefleksikan kenyataan human being bahwa kemiskinan itu pada dirinya sendiri mengandung potensi revolusi di dalam tubuhnya sendiri untuk mengubah dirinya sendiri. Dengan kata lain, realitas kemiskinan sesungguhnya mengandung protes bahkan menyimpan energi revolusi sosial.

Kedua, usaha untuk meningkatkan peredaran uang ke dalam masyarakat harus direncanakan rinci dan jelas. Ini dilakukan untuk meningkatkan produksi bahan-bahan mentah dan menjual barang-barang ke luar daerah, membuka kesempatan kerja bagi penduduk setempat, berusaha menarik pedagang-pedagang luar ke dalam daerah, mengusahakan pinjaman-pinjaman, berusaha memperoleh dana-dana pemerintah dan bantuan barang-barang.

Ketiga, sebanyak mungkin dana dari luar dimasukkan ke dalam dan dipertahankan selama mungkin dalam masyarakat itu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengusahakan sebanyak mungkin produksi barang-barang konsumsi dan pelayanan-pelayanan, pengembangan industri dan perdagangan setempat serta mempertinggi keterampilan penduduk.

Keempat,  dana-dana yang mengalir ke dalam dan telah dipertahankan itu, harus diedarkan secepat mungkin secara kontinyu di dalam kesatuan ekonomi setempat. Hal ini sangat penting dan menentukan, karena uang itu harus beredar terlebih dahulu berkali-kali di dalam masyarakat itu sebelum mengalir ke luar.

Kelima, walaupun masyarakat harus memperkuat sistem perekonomiannya sendiri, usaha mereka pun harus diselaraskan dengan kesatuan ekonomi yang lebih luas, di lingkungan kota, propinsi, negara dan bahkan pada taraf internasional.

Meski kelima hal di atas dilakukan secara tertib, dan katakanlah benar dengan tingkat partisipasi politik yang deliberatif (ex: musrenbang plus), tetapi arah penyelesaian masalah mendasar rakyat desa harus tetap jelas. Bahwa persoalan mendasar mereka adalah pelayanan dasar dan kesejahteraan penduduk. Penduduk melihat urgent dan penting kebutuhan pengawasan penyediaan air, memperbaiki gang-gang (proyek rabat beton di kampung-kampung), jalan dan jembatan, perkenalan penggunaan listrik di tempat umum dan rumah penduduk, mengembangkan sistem angkutan yang memadai. Hal serupa dalam konteks kesejahteraan, yaitu pelayanan kesehatan yang baik bagi semua orang. Sebuah poliklinik hendaknya difungsikan secara efektif dan kalau perlu ada pelayanan gratis untuk bantuan kebidanan. Tidak sebagaimana yang saya temukan di Kabupaten Manggarai enam bulan lalu, misalnya. Gedung puskesmas ada, tetapi pelayan kesehatannya tinggal jauh dari tempat pelayanan kesehatan itu, dan bekerja seturut suka, datang terlambat pulang lebih lekas.

Penduduk desa mengetahui bahwa melalui sistem pemeliharaan  sehari-hari mereka akan dapat mengembangkan perhatian dan daya cipta mereka sendiri untuk membangun kembali desanya. Itu berarti, intervensi pembangunan di dan ke desa akan sangat ikut menentukan model partisipasi manusia di desa.
Saya selalu berpandangan bahwa model pembangunan yang diperkenalkan di desa melalui rentetan bantuan ke desa akan ikut menentukan model dan watak partisipasi manusia di desa. Rakyat di desa juga akan segera tahu, apakah model (cara) dan jenis bantuan di desa bermotif politik electoral ataukah   bermotif pembebasan manusia dari lilitan kemiskinan. Hal itu ditentukan oleh mekanisme bantuan ke dan di desa, apakah mempraktekkan mekanisme demokratik deliberatif ataukah sekadar penuntunan kekuasaan dalam perpekstif kaum developmentalis yang gemar dipuja dan selalu bias ideologis itu.

Pola dan pertimbangan geografis juga sangat diperlukan mengingat makna luas sempitnya partisipasi rakyat. Jangan-jangan kita sudah menduga ada partisipasi rakyat hanya karena mereka telah hadir pada satu pertemuan di rumah atau kantor kepala desa, tetapi partisipasi yang sesungguhnya yang saya maksudkan di sini ialah kalau rakyat itu datang berkumpul atau mau bersidang karena mereka sendiri ingin menentukan ke arah mana bantuan itu hendak digunakan, dan mereka sendiri hendak merumuskan bagaimana mekanisme pengelolaan bantuan itu. Dengan kata lain, pengelolaan bantuan itu ditentukan oleh kaum 'intelek' kampung (catatan: Hati-hati, makna kata 'intelek' di sini karena tidak serta merta sama dan sebangun dengan orang yang kuliah sampai dapat profesor lalu serta merta kita menduga dia intelek. Menurut saya, ada juga  profesor yang sama sekali bukan seorang intelektual, tetapi tukang).

Saya membayangkan, di setiap kampung yang menerima bantuan, rakyat (laki-laki maupun perempuan) mengajukan kepentingan mereka masing-masing dalam perdebatan yang demokratis. Hasil keputusan mereka adalah produk dari mekanisme demokrasi deliberatif yang memungkinkan pudarnya keputusasaan menuju partisipasi yang aktif dan kreatif. Mengapa? Karena mereka semua kemudian menyadari bahwa pembangunan ternyata tidak hanya datang dari atas atau dari depan, tetapi pembangunan datang dari bawah atau dari belakang menuju ke ruang tengah kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Pemerintah tidak lebih tidak kurang dari sekadar pembantu khusus. Untuk ceritera serupa ini, saya sebetulnya punya kisah tentang Porto Alegre di Brasil, tempat dari mana pemain sepak bola handal yang saya suka, Ronaldinho. Kisah Porto Alegre akan saya tulis tahun 2011 sebagai pembelajaran demokratik, karena diharapkan tahun 2011 adalah tahun yang sangat strategis dalam konteks perhitungan politik pembangunan di wilayah ini. *

Aktivis/Anggota NTT Policy Forum